Mading Perpustakaan 20 Maret 2011 (3)

Sejarah Penggunaan Bahasa Sunda


Bahasa Sunda sebagai bahasa resmi pernah mandeg ketika tatar Sunda menjadi bawahan Mataram, pada Jaman Amangkurat I sedikit-demi sedikit diserahkan kepada Belanda. Pada amasa itu bahasa Sunda hanya digunakan sebagai bahasa lisan–bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa formalnya menggunakan bahasa Jawa, Konon kabar sejak abad 17 (Jatuhnya Pajajaran), di tatar Sunda menggunakan naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon.

Bahasa Sunda mulai banyak digunakan kembali pada abad ke-19. Karena Belanda pun sebelumnya menganggap Urang Sunda hanya sebagai orang jawa gunung yang hidup didaerah barat pulau Jawa.
Bahasa Sunda manggung deui pertama-tama setelah diketahui bahwa ternyata Urang Sunda itu memiliki Budaya dan bahasa yang tersendiri, sama halnya dengan Melayu dan Jawa. Memang memerlukan jalan panjang untuk membuktikan adanya etnisitas ini, bahkan Rafles pun hanya menganggap bahasa Sunda itu hanya dialek dari bahasa Jawa. Secara resmi
Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedangkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde.
Perihal hubungan Budaya dan Bahasa memang lajim disebut pertanda bangsa – Basa Ciciren Bangsa (een volk). Pendapat ini dikemukakan pula pada tahun 1920-an oleh Memed Sastrahadiprawira, seorang sarjana sunda. Ia mengemukakan :
“Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea pada leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana sowoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit”
Dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan Sarjana Sunda yang dianggap cukup berpengaruh bukan hanya bahasa dan etnisitas, tapi juga budaya. Pandangan ini menyatakan bahwa : bahasa merupakan representasi, cerminan suatu kebudayaan ; dan menentukan serta mendukung etnisitas. Bahasa dianggap sebagai pengusung terpenting dari suatu Budaya..
Untuk lebih mengetahui sejarah singkatnya, saya sadur tulisan dibawah ini.
Sejarah Penggunaan Bahasa Sunda
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.

Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).

Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawa li, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).

Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.

Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas.

Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut: 
(1) Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)

(2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).

Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.

Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.

Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.

Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.

Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.

Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.

Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.

Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.

Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.

Mading Perpustakaan 20 Maret 2011 (2)

Sahadat Buhun

Dalam uraian Jangjawokan sebagaimana yang ditulis terdahulu diuraikan, bahwa dalam sastra sunda lisan jangjawokan atau ajimantra ditemukan pula ada yang menyebut-nyebut nama Allah, sebagaimana dibawah ini. Sehingga menurut Wahyu Wibisana menimbulkan pertanyaan. Apakah ajimantra semacam ini dapat dikatagorikan dalam do’a ?.

Tentunya kita jangan terburu-buru memvonis untuk menyimpulkan ajimantra atau jangjawokan sebagai suatu laku yang tidak bisa dikatagorikan doa, hanya karena diasumsikan :”tidak ditujukan kepada Tuhan, melainkan diperintahkan kepada yang gaib, dalam katagori makhluk, bukan yang maha Gaib (Tuhan)”. Saya pikir paradigma inipun masih menggelitikan untuk diperdebatkan.

Pertama, jika jangjawokan banyak digunakan masyarakat Sunda Buhun, alangkah lebih bijaksananya jika dilakukan pendekatan melalui paradigma tentang sejarah diri, terutama yang menyangkut unsur raga wadag ; batin ; serta ingsun sebagai drive raga dan bathin. Kedua, pengkatagorian dan pemilahan jangjawokan dengan do’a tidak bisa hanya karena adanya unsur kata-kata yang lajim digunakan oleh urang sunda berikutnya. Unsur kata tersebut timbul sebagai negasi, atau pemantapan agar apa yang dilakukannya dapat dikabulkan oleh yang maha mengabulkan. Pemilahan bisa mungkin terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bentuk puisi arkais, sedang do’a bukan.

Kemudian, jika hanya karena tidak menggunakan unsur kata tadi tidak dapat dikatagorikan sebagai do’a, maka bisa saja ditafsirkan, bahwa urang sunda buhun tidak pernah berdo’a. Mengingat pada pra islam masyarakat di tatar Sunda tentunya tidak menggunakan kata Allah, bahkan sampai saat ini masih banyak urang sunda yang menyebut Allah dengan kata Gusti Nu Maha Suci ; Gusti Nu Maha Rokhman ; Hyang Widi ; Nu Murbeng sakabeh Alam. Dalam paradigmana itu adalah nama-nama Allah (khaliq), bukan makhluk. Selanjutnya mungkin juga dapat diperbanding-bandingkan tentang cita-cita urang sunda buhun, : “yakni manggihkeun hyang tanpa balik ka dewa” – bertemu dengan Hyang bukan Dewa.

Mungkin yang perlu diteliti lebih jauh adalah penggunaannya. Jangjawokan oleh masyarakat Sunda Buhun atau para penganut yang sampai saat ini masih ada. Jika saja dilakukan oleh urang sunda yang tidak menganut ageman buhun, itupun tidak harus pula disebutkan sebagai suatu penyimpangan. Bukankah do’a dapat dipanjatkan dengan bahas apa saja, atau lebih tepatnya, do’a bagi manusia dapat dipanjatkan sesuai dengan yang dimengertinya, atau bahasa hatinya. Ditujukan kapada Tuhan yang maha mengabulkan (Kecuali bagi ummat Islam tentunya hanya shalat yang memang harus menggunakan bahasa aslinya).

Mudah mudahan tulisan ini ada yang membahas, sehingga dikelak kemudian hari dapat terungkap budaya dan spiritualitasnya secara utuh. Selamat membaca.


pun,
Rakean.

===

Sadat Islam
Sadat islam aya dua,
Ngisalmkeun badan kalawan nyawa,
Dat hurip tanggal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu
Parentah kanjeng Gusti,
Nabi Adam pangnyampurnakeun badan awaking.
Sir suci,
Sir Adam,
Sir Muhammad,
Muhammad jala lalana
Nu aya di saluhuring alam.
 
Sahadat Sunda
Ashadu sahadat Sunda
Sapapada jeung pandita
Neang indung nu kabduhu
Neang Bapa Hidayyatullah
Nu mayungan sajagat,
Neangan Pangeran Kudratullah
Laillahhailloh Muhammad Rasullah
 
Sahadat Jawa
Apa pengot surat Raden Angga Keling
Pangeran Angga Warulang
Ratu suluk ajitullah
Pengaersa sa Nusa Jawa
Puputrane Ulis Akin
Kajayak ngarurug Pajajaran
Tanggal ping opat welas
Nukila di kalimati sahadati
Isun weruh umat Allah dikang Selam

Sahadat Bawa
Ashadu Sahadat Bawa,
Iman jati lulungguhan pulo nyawa,
Roh nyawa intening hurip,
Hurip ieu keuna ku gingsir
Langgeng teu keuna ku owah,
Lailahileloh Muhamad Rasulullah

Sahadat Taraju
Ashadu sahadat taraju
Idin imatan warohmatan
Walidatan, wasiratan,
Titikaptan minha yah u
Ya Allah, ya Rasulullah.

Sahadat Sayang
Ashadu sahadat sayang,
Kuriling ka bale suci
Cat mancet ka jagat mulya,
Tetesen ditetes ku Allah
Ya hu, ya Allah, ya Rasulullah
 
Sahadat sari
Ashadu sahadat sari,
Gegedah wadah humenggang,
Ngebur-ngebur lain ratu,
Ngebyar-ngebar cahyaning pangeran,
Payung tilu nungku-nungku,
Payung emas lingga jati,
Kakayon sabar darana,
Teteras sekar cendana.
 
Sahadat Adam
Ashadu Sahadat Adam,
Sah Adam,
Ashadu nur putih alip tunggal,
Iman eling ka mulya kang kadim,
Lailahailaleloh Muhammad Rasululah.
 
Sahadat Barjah
Ashadu sahadat barjah,
Enggon Allah sapatemon,
Sang Mutiara Putih calik di iman,
Patala artu miski aja ningratullah,
Titpan gedong kencana,
Nama Allah Rasulullah,
Lailaha ilaloh.

Sahadat Hayun
Asahadu sahadat hayun,
Hayun-hayun hurip kang hurip,
Cicipta Gusti Kang waras,
Cicipta Allah cipta rosa kang kawasa,
Ceg badan wujuding Allah Rasulullah
Nanya badan, ceg badan wujuding manusa.

Sahadat Siluman
Heuah balung nangtung tulang
Tulang muntang. Colok rasa ku buana,
Deg kimili rasa,
Aing nyaho ratu sia,
Anak sia ratu Siti,
Ambu sia ratu neluh ti Galunggung,
Bapa sia pangulu jin.

Sahadat Mustakarayunan
Asahadu mustakarayunan
Sahadat permana tunggal,
Selam lahir, selam bathin,
Selam pinarengin kersa,
Sing waspada kanu ngayuga bumi alam
Aya nu saurang, aya nu sorangan,
Aing waspada kepada Allah,
Allah waspada ka kaula.
Tenget gemereng-ereng,
Raraga gemet ruhiat,
Terusning Allah terusning rasa
Pani-pani langgeng tetep,
Langgeng agama Islam.

Sahadat Ganda
Ashadu ganda ingsun,
Turun saking sawarega,
Ningal ganda ningsunan sampurna,
Ganda ningsunan handiri,
Kamar langit karaton.

 
Mangga urang korehan deui(***)





Sumber Sahadat :

SASTRA LAGU : Mencarari Larak dan Lirik, Wahyu Wibasana, Dalam Lima Abad Sastra Sunda, Geger Sunten, 2000.

Mading Perpustakaan 20 Maret 2011 (1)

Islam dan Sunda Dalam Mitos

Oleh : JAKOB SUMARDJO


PANDANGAN manusia Sunda masa kini terhadap hubungan antara agamanya (Islam) dan kebudayaannya (Sunda) tentulah berdasarkan pandangan dan pengetahuan yang sudah modern. Bagaimana hubungan itu seharusnya, tentulah menjadi bahan wacana yang aneka ragam. Tetapi orang sering melupakan bagaimana gagasan manusia Sunda itu dalam praksisnya. Bagaimana masyarakat Sunda pra-modern memandang dirinya dalam hubungan antara Islam dan Sunda. Gagasan semacam itu bertebaran dalam bentuk wawacan yang oleh Viviane Sukanda-Tessier dan Hasan M. Ambary telah dihimpun ringkasan isinya setebal lebih dari 2000 (dua ribu) halaman.



Untuk memahami hubungan antara Islam dan Sunda, ratusan wawacan itu dapat menjadi sumber utamanya. Kalau pikiran kolektif masyarakat Sunda di zaman Pajajaran dapat disimak dari carita pantun, pikiran kolektif masyarakat Sunda setelah memeluk agama Islam dapat disimak dari wawacannya. Wawacan-wawacan inilah yang ikut membentuk pikiran kolektif masyarakat Sunda sejak abad ke 17.



"Pantun dan wawacan itu bukankah dongengan saja Pak?" Memang kita sekarang menampakkannya sebagai dongeng-dongeng belaka, tetapi di zamannya (bahkan mungkin masa kini di perdesaan Sunda) masih merupakan mitos. Setiap masyarakat memiliki sejumlah mitos untuk mempersatukan dirinya dalam sebuah bangunan alam pikiran yang sama.



Mitologi-mitologi Islami Sunda dalam bentuk ratusan wawacan ini berperan sangat penting dalam menyatukan kesadaran sosial masyarakat Sunda pada zamannya. Dan kesadaran inilah yang memimpin sikap mereka dalam mengarungi hidup ini. 

**
MASYARAKAT Sunda zaman wawacan itu memandang dirinya dalam hubungannya dengan agama Islam, dapat dilihat dari hanya dua wawacannya saja, yakni Wawacan Guru Gantangan dan Wawacan Kean Santang. Masih tersedia puluhan wawacan lain yang dapat memperkuat thesis yang akan diajukan di sini. Dalam sebuah diskusi tentang kesundaan, seorang mahasiswa menolak keras diperhitungkannya nama Kean Santang dalam membaca budaya Sunda di masa lampau. Kean Santang itu tidak dapat dibuktikan keberadaannya dalam sejarah Sunda. Jawaban saya, mana yang lebih penting, kesadaran kolektif masyarakat Sunda atas "adanya" Kean Santang, atau bukti sejarah keberadaannya? Kalau benar ada secara faktual, tetapi tidak ada secara kesadaran, mana yang lebih penting dalam ilmu budaya? Realitas kesadaran bahwa Kean Santang itu benar-benar ada dalam alam pikiran masyarakat Sunda di zaman itu, atau jauh lebih penting dari realitas faktual yang memang "tidak ada"?.



Perlu saya tambahkan di sini, bahwa wawacan bukan untuk dibaca secara personal seperti kita sekarang membaca roman Siti Nurbaya. Wawacan itu untuk dibacakan di depan sejumlah hadirin dengan melagukannya. Inilah second literary. Genesisnya dari dua komunitas, yakni lingkungan pesantren Sunda dan lingkungan kaum menak. Inilah sebabnya wawacan berhuruf Pegon (pesantren) dan berhuruf cacarakan Jawa (menak).



Wawacan berisi ajaran Islam dan mitos-mitos Islami diduga berasal dari komunitas santri, sedangkan wawacan berisi mitos-mitos Sunda, Jawa, dan Islam, berasal dari komunitas menak. Dua jenis wawacan ini diwarisi oleh rakyat Sunda. Dengan demikian, jelaslah bahwa wawacan Sunda menggambarkan alam kesadaran seluruh masyarakat Sunda. 



Seperti halnya masyarakat Melayu, masyarakat Sunda memandang Sunda dan Islam itu identik. Sunda itu Islam, Islam itu Sunda. Sebuah ungkapan yang amat membingungkan dalam pola berpikir modern kita. Tetapi ungkapan ini berasal dari tradisi berpikir masyarakat Sunda pra-modern. Dalam masyarakat Minang identitas Islam ini dirumuskan dalam ungkapan: adat bersendi sarak (syariat), sarak bersendi Kitab Allah. Ungkapan Minang ini kemudian dipakai cendekiawan Sunda modern untuk mengoreksi ungkapan aslinya yang membingungkan itu, yakni Islam dahulu sebelum Sunda.



**



MENGAPA muncul ungkapan "Islam itu Sunda?" Nenek Moyang Sunda bukan orang bodoh yang tak tahu membedakan antara agama Islam yang dijunjung tinggi dengan adat istiadat leluhurnya. Ungkapan "Islam itu Sunda" sama sekali tidak bermaksud mereduksi Islam menjadi budaya. Ungkapan ini mirip dengan "Siliwangi itu Jawa Barat, Jawa Barat itu Siliwangi". Sunda dan Siliwangi itu identik.



Identitas Sunda sebagai Islam itu mengacu kepad Trias Politika Sunda. Di masyarakat Baduy, terdapat kesatuan tiga kampung besar yang masing-masing mempunyai peranannya sendiri. Kampung yang amat dihormati adalah Cikeusik, karena kampung ini bersifat resik yakni penentu adat seluruh kesatuan kampung. Meskipun ia dihormati, tetapi tidak menjalankan kekuasaan kampung. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada kampung di tengah, yakni Cikertawana. Sedang kampung paling luar, Cibeo, bertanggung jawab atas keamanan tiga kampung besar dan bertugas menjalin komunikasi dengan pihak luar kampung. Jadi, Cikeusik sebagai resi, Cikertawana sebagai ratu dan Cibeo sebagai rama.



Dalam zaman Pajajaran, Pakuan menggantikan kedudukan Cikeusik, jadi raja Pajajaran itu raja-pendeta. Kekuasaan eksekutif Pajajaran di Jawa Barat tersebar di negara-negara "tengah", misalnya Sumedang, Tasikmalaya, Majalengka, dst. Sedangkan Cibeonya Pajajaran adalah kota-kota pesisir seperti Indramayu, Karawang, Tangerang, dst. Inilah muncul ungkapan Sunda bahwa Sunda itu Pajajaran dan Pajajaran itu Sunda, atau yang lebih mutakhir, Siliwangi itu Sunda dan Sunda itu Siliwangi.



Bagaimana ketika Sunda memeluk Islam? Tetap trias politika. Triloginya adalah santri (Islam), Menak, dan Rakyat mengikuti ungkapan resi, ratu, rama. Resinya menjadi ulama, ratunya menjadi kaum menak, dan rama menjadi rakyat Sunda umumnya. Dibaca secara demikian maka pola pikir masyarakat Sunda mengenai hubungan antara sistem kepercayaannya dengan sosio-budayanya masih tetap Trias Politika Sunda. Cikeusik, Pakuan-Pajajaran, dan Islam adalah otoritas rohaniah yang amat dihormati dan dipatuhi. Inilah yang menyatukan alam pikir seluruh komunitas Sunda. Sunda itu ya Cikeusik itu, Pakuan - Pajajaran itu, Islam itu sendiri.



Oleh karena itu masyarakat Sunda mentakan bahwa "Islam itu Sunda". Ungkapan ini jangan dibaca secara modern, tetapi secara tradisi berpikir masyarakat Sunda sendiri, yang artinya Islam adalah pengganti identitas Sunda yang sebelumnya dipegang oleh Pajajaran. Karena kerajaan Pajajaran tidak berkelanjutan dengan berdirinya kerajaan Islam-Sunda (kecuali kerajaan Banten dan Cirebon disebut sebagai Sunda), maka otoritas rohani Sunda diserahkan kepada kaum ulama Sunda di pesantren-pesantren.



Jadi, resi-ratu-rama menjadi Islam-menak-rakyat. Seperti dahulu Pajajaran itu sunda, maka sekarang Islam itu Sunda. Dengan demikian, ungkapan "Islam itu Sunda" harus dibaca secara sosio-historis Sunda, dan jangan dibaca secara teologis.



Permasalahannya sekarang, mengapa identitas Sunda adalah Islam? Inilah alam pikiran Sunda pra-modern, suatu realitas kesadaran yang ditanamkan lewat berbagai mitos-mitos Islami Sunda dalam wawacan. 



Dalam wawacan Guru Gantangan (abad 18?), masyarakat Sunda percaya bahwa Pulau Jawa ini pada mulanya kosong. Maka raja Mesir, Sri Putih, membawa seribu orang Mesir dan seribu orang Selon bermukim di Pulau Jawa (Sunda), Penyebutan orang Mesir dalam abad 17 atau 18 dapat dipahami sebagai kekuasaan kesultanan Turki di Mesir yang jelas Islam.



Dengan demikian, masyarakat Sunda dalam abad-abad itu percaya bahwa orang Sunda itu setengah Mesir (Arab, Turki, Islam) dan setengah Selon (India). Mitos ini meneguhkan bahwa Sunda itu sejak mulanya memang sudah Islam.



Mitologi kedua berasal dari wawacan Kean Santang. Kean Santang adalah putra Siliwangi yang tak terkalahkan oleh siapa pun, sehingga ia mencari lawan yang dapat melukainya dan dengan demikian ia akan dapat melihat darahnya sendiri. Petunjuk mengatakan bahwa ia harus bertapa di Ujung Kulon. Dalam pertapaannya ia mendengar suara agar pergi ke arah barat. Perjalanan ke barat sampai di Arab. Di sana ia bertemu seorang kakek yang kemudian dikenal sebagai Baginda Ali. Kakek ini bersedia mempertemukan Kean Santang dengan siapa yang dicari Kean Santang selama ini.



Dalam perjalanan, Baginda Ali menyuruh Kean Santang mengambilkan tongkatnya yang ketinggalan. Kean Santang pergi mengambilnya, tetapi tongkat yang tertanam di pasir itu tak bisa ditariknya, meskipun telah mengeluarkan segenap tenaganya. Baginda Ali datang menyusul, dan dengan amat gampang menarik tongkat itu. Kean Santang sadar, bahwa Baginda Ali yang hanya pengikut Nabi Muhammad SAW begitu perkasanya, apalagi beliaunya sendiri. Kean Santang bertobat dan masuk Islam. Kean Santang mendapat ajaran Islam dari nabi sendiri, dan ikut mendirikan sebuah tiang dalam membangun masjid di Mekkah.



Kean Santang sebenarnya ingin tetap tinggal dekat nabi, namun ia diberi tugas untuk menyebarkan agama Islam di Sunda. Sesampainya di tanah airnya, ia membujuk ayahandanya Prabu Siliwangi agar bersedia masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi memilih moksha bersama keluarga dan pembesar-pembesarnya. Pajajaran lenyap. Tetapi Kean Santang tidak mau menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Ia menyebarkan agama Islam ke seluruh rakyat Sunda.



**



SEKALI lagi mitos ini menunjukkan keyakinan masyarakat Sunda bahwa Islam di Sunda itu berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW yakni Islam yang semurni-murninya Islam. Dan Kean Santang adalah murid dan sekaligus utusan Nabi Muhammad SAW. Tidak mengherankan apabila rakyat hilang kenangannya terhadap kebudayaan Hindu-Budha-Sunda yang pernah berjaya sekitar seribu tahun. Nama Siliwangi itu sendiri barangkali dalam kesadaran rakyat hanya dikenal sebagai "bukan Islam", namun bukan raja Hindu-Budha.



Pengalaman saya waktu ceramah di daerah Banjaran membuktikan kenyataan itu. Ketika saya jelaskan makna pantun yang berhubungan dengan system kepercayaan Hindu-Budha di Sunda, salah seorang peserta membantah bahwa orang Sunda pernah memeluk agama Hindu-Budha. Orang Sunda sejak dahulu kala telah memeluk agama Islam, tidak ada agama yang lain.



Mula-mulanya saya terperanjat, tetapi kemudian saya memahami sikapnya setelah saya membaca ringkasan-ringkasan wawasan hasil kerja Ibu Viviane dan Bapak Ambary. Betapa hebatnya wawacan atas alam pikiran rakyat Sunda di perdesaan.




Dikutip sesuai dengan aslinya dari :

[kisunda] PR: Islam dan Sunda Dalam Mitos
KUMICIR
Sat, 14 May 2005 21:36:42 -0700 (Sabtu, 14 Mei 2005)

sejarah sunda.wmv

03-COREL DRAW TUTORIAL "MAKING A CARTOON CHARACTER WITH VECTOR ART"

Adobe Photoshop CS4 Tutorial - How to make Glowing Lines

perpustakaan

Mading Perpustakaan 14 Februari 2011 (1)

Prabu Siliwangi adalah Muslim



Betapa beratnya merubah pandangan dan pengetahuan masyarakat yang sudah mendarah daging tentang sesuatu. Demikian kuatnya sehingga hal-hal yang baru akan dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan yang mungkin akan menghancurkan kemapanan. Tetapi aku betul-betul  yakin dalam masyarakatku masih banyak orang-orang yang berhati bersih, ihlas mendengarkan dan menyimak dengan cermat sebelum mereka memutuskan sesuatu itu benar, kurang tepat atau malah salah besar. Salah satu soal yang menggodaku sehingga aku rindu untuk segera menyampaikannya adalah 'sejarah umat Islam di Indonesia' dan 'umat Islam dalam sejarah'.
Yang pertama berkaitan dengan realitas dan fakta penulisan sejarah umat Islam yang ada sekarang, menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah dan karenanya pastilah telah lama membentuk pola pikir pada sebagian masyarakat Indonesia. Yang kedua berkaitan dengan fakta yang benar benar faktuil tentang peran umat Islam selama ratusan tahun dalam kehidupan masyarakat yang sebagian besar tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, atau sengaja dikaburkan.
Penulisan sejarah memang sarat dengan kepentingan politik. Bagaimana sejarah itu ditulis bisa jadi alat melanggengkan kekuasaan seseorang atau suatu rezim. Contohnya adalah apa yang dilakukan Eugene Dubois. Setelah melakukan penelitian di pulau Jawa, khususnya di Mojokerto dan Kediri, ia berpendapat bahwa manusia yang pernah hidup di Indonesia adalah pithecantrophus erectus alias manusia kera yang berdiri tegak. Manusia jenis ini juga ditemukan di wilayah Afrika dan Asia lainnya. Sementara penelitian di Eropa menemukan jenis
lain, yaitu homo sapiens bascilus atau manusia yang sudah bisa berfikir. Sudah bisa diduga bagaimana kesimpulannya : manusia eropa atau berkulit putih lebih pintar dan lebih maju diban
dingkan orang Asia atau Afrika. Wajar saja kalau orang Eropa menjadi kaum penjajah, dan orang Asia dan Afrika menjadi kaum terjajah. Karena misi utama penjajahan adalah memper-
adabkan manusia pribumi. Itulah contoh sikap hipokrit orang Eropa. Mengatasnamakan kajian
ilmiah tetapi maksud utamanya adalah membenarkan penjajahan.
Monstesquieu yang terkenal karena teori Trias Politica-nya malah beranggapan bahwa tidak mungkin Tuhan memberikan ruh kepada orang Negro yang hitam kelam. Dan karena itu musustahil bagi kita untuk bisa berbelaskasihan pada mereka. Mereka hanya cocok menjadi budak budak belian. Rudyar Kipling bahkan menyebut mereka half devil and half child (setengah setan dan setengah kanak-kanak). Jadi penjajahan merupakan tugas orang kulit putih memanusiakan bangsa pribumi. Aduh, kurang ajar betul... Nah, di Indonesia Timur Belanda menemukan etnis kulit hitam yang mirip orang Afrika, mereka menamainya Papua, yang artinya daerah hitam tempat perbudakan. Sayang sekali nama Papua dianggap lebih keren ketimbang nama Irian yang berarti sinar yang menghalau kabut.
Dalam kaitan dengan bagimana umat Islam dalam sejarah, sejak lama penjajah melakukan pendistorsian atas sejarah. Mereka ingin menggambarkan betapa bangsa Indonesia menjadi maju tatkala diperintah raja-raja Hindu dan Budha. Datangnya Islam tidaklah menghapuskan kehinduan mereka. Bahkan dalam kondisi zaman sekarang pun kehinduan itu tetap eksis. Contohnya adalah penulisan sejarah Prabu Siliwangi, raja orang Sunda yang dianggap punya kesaktian luar biasa, dan demi mempertahankan keyakinan hindunya, ia berubah menjadi harimau, sering muncul di hutan larangan yang bernama Hutan Sarongge di gunung Salak, sedangkan keturunannya seperti Suryakancana menguasai gunung Gede, menikahi jin (entah bagaimana wujud manusia ketururunannya yang hasil blasteran manusia dan jin ini), bahkan melalui tapa brata dan ritual-ritual khusus Prabu Siliwangi atau eyang Suryakancana ini bisa diundang datang, mungkin menghadiri resepsi atau syukuran atas maksud-maksud tertentu. Demikian cerita seterusnya berkembang dalam tradisi lisan dan dongeng orang Sunda.
Tahukah anda, dalam buku Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, bersumberkan buku Carita Purwaka Caruban Nagari  yang ditulis Pangeran Arya Cirebon (1720), Prabu Siliwangi (PS) ternyata masuk Islam. Ia menikah dengan seorang wanita bernama Nyai Subang Larang,  seorang santri putri Syekh Hasanudin yang dikenal sebagai Syekh Qura. Nah dari pernikahannya ini lahirlah tiga orang anak : Walang Sungsang (lk), Nyai Rara Santang (pr), dan Raja Sangara (lk). Nyai Rara Santang dinikahi Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullahpun, seorang Arab turunan Bani Ismail, kemudian berputera yang diberi nama Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Jadi salah seorang wali sanga itu ternyata cucu PS. Dengan demikian tidaklah benar cerita yang menyatakan PS sebagai seorang Hindu, bahkan rela meninggalkan istananya hanya untuk mempertahankan kehinduannya. Cerita ini sesungguhnya berasal dari penjajah Belanda. Bertujuan mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa Indonesia karena keengganan menerima kenyataan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan cara-cara damai, di antaranya melalui pernikahan campuran, hidup penuh sikap toleran bersama-sama umat Hindu serta berpengaruh besar dalam pembentukan tatanan sosial dan kultural bangsa ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat, dan sampai jumpa di tulisan yang lain....

Mading Perpustakaan 14 Februari 2011 (2)

Alat Serpih (Flakes)

 
Dalam konteks perkembangan alat-alat batu tingkat Plestosen di Indonesia dan di daerah-daerah sekitarnya di Asia Tenggara, alat serpih sering kali ditemukan bersama dengan kapak perimbas atau alat lainnya. Tempat-tempat penemuan alat serpih yang paling menonjol di Indonesia adalah di Jawa (Punung, Sangiran, Gombong dan Ngandong ); Sulawesi Selatan (Cabbenge, Lahat); di Flores (Mangeruda); di Timur (Gassi Liu dan Sagadat).
Tradisi alat serpih menghasilkan perkakas-perkakas yang berbentuk sederhana dengan memperlihatkan kerucut pukul yang jelas. Bahan batuan yang umumnya digunakan adalah beberapa jenis batuan tufa dan gamping kersikan serta batuan endap.
 
Alat serpih dan bilah berukuran kecil dan besar (antara 4-10 cm), dan rata-rata menunjukan kerucut pukul yang jelas. Sesuai dengan bentuknya, alat tersebut digunakan sebagai alat penggaruk atau serut, gurdi, penusuk, dan pisau. Sebagian alat serpih dan bilah menunjukan teknik pekerjaan yang telah maju, dengan penyiapan bentuk-bentuk alat secara teliti sebelum dilepaskan dari batu intinya sehingga pada sejumlah alat tampak faset-faset di dataran pukulnya (Teknik pseudo Lavallois). Di dalam konteks tradisi alat serpih tingkat Plestosen di Indonesia, sebagian alat serpih-bilah dari Punung ini tergolong maju.
     Alat serpih pertama kali ditemukan oleh Koenigswald pada tahun 1934. Alat dikumpulkan dari permukaan tanah barat laut Desa Ngebung. Setelah penemuan pertama ini akhirnya banyak penemuan-penemuan baru yang berhubungan dengan alat-alat serpih. Alat serpih ini kemungkinan senjata kecil yang digunakan pada masa praaksara terutama untuk keperluan mengolah makanan.

Sumber Gambar
Poesponegoro, M.D. dkk. 12008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.

Mading Perpustakaan 14 Februari 2011 (3)

Aksara Nusantara - Dwipantara


I. Manggala

         Aksara merupakan pinjaman kata (istilah) bahasa Sanskerta, akshara. Aksara juga disebut huruf-abjad (bahasa Arab) adalah suatu lambang bunyi atau ujaran (fonem); sedangkan bunyi adalah lambang pengertian. Secara umum aksara adalah suatu tanda-tanda grafis yang dipakai manusia sebagai salah satu alat komunikasi yang mewakili suatu ujaran, alat untuk mencatat setiap ujaran secara sistematis. Ke dalam pengertian aksara merupakan media untuk menyampaikan ide-ide, gagasan-gagasan, maksud seseorang kepada orang lain yang tidak dapat disampaikan melalui pembicaraan lisan atau ujaran.

        Berbicara tentang aksara tidak terlepas dari kedudukannya sebagai sumber tertulis (data tekstual). Pada masa paling awal bukti otentik aksara ditandai oleh hadirnya prasasti. Di sini prasasti memiliki kedudukan sebagai data utama, karena sebagian besar prasasti hampir selalu kontemporer masanya. Dibuat dan dikeluarkan atas wewenang raja, penguasa tertinggi suatu pemerintahan resmi, negara atau kerajaan berdaulat. Isi-pesannya berkenaan dengan titah atau anugrah raja/penguasa kepada seseorang yang berjasa atau dalam rangka memutuskan sesuatu perkara hukum (perdata). Prasasti adalah Surat Keputusan (SK) atau dokumen resmi pemerintah. Kehadiran suatu prasasti di masa lalu selalu diiringi upacara resmi dengan mellibatkan pemerintah langsung sebagai pembuat keputusan hukum. Itu sebabnya prasasti dipandang sangat sakral dengan sebutan hormat Sanghyang Ajna Prasasti.

       Suatu prasasti ketika diputuskan untuk dibuat dan dikeluarkan sama artinya dengan dikukuhkannya keputusan resmi pemerintah. Oleh karena itu suatu prasasti tidak hanya dibuat satu, prasasti asli digoreskan pada media bahan yang lebih kuat dan permanen, biasanya dipilih bahan batu. Sedangkan copy atau tembusan (tinulad) digoreskan pada lempeng atau lembar tembaga - tamra prasasti - lebih mudah dibawa dan dipindahkan. Jumlah copy atau tembusan disesuaikan kepada pejabat desa yang diundang hadir sebagai (tatra) saksi. Prasasti merupakan dokumen otentik tentang gambaran bunyi (aksara) yang sarat mengandung sumber dan record – yang berbicara atas bukti-bukti langsung warisan budaya Nusantara di masa lalu.
 
       Dari bukti prasasti yang telah berhasil ditemukan hingga kini, media menggoreskan aksara meliputi batu, logam (emas, perunggu, tembaga), kayu, juga bahan-bahan lain yang lebih lunak seperti daun tal (ron-tal), atau nipah. Sedangkan alat menggores atau memahat aksara, disesuaikan kadar kekerasan bahan yang dipergunakannya semacam tatah/pisau kecil, yang pada bagian ujungnya dibentuk melengkung, pipih, sangat tajam. Selain untuk menorehkan aksara, alat ini juga digunakan untuk mengiris dan menghaluskan bahan (daun) menjadi lempiran-lempiran dengan ukuran yang diperlukan panjang, lebar dan ketebalan tertentu yang siap pakai. Sementara bahan-bahan keras seperti batu atau jenis logam tertentu (perunggu, tembaga emas) dipakai karena dianggap lebih tahan lama. Tentu saja, pilihan bahan (media) dipakai selaras kepentingan dan sumber daya yang diperoleh di lingkungan budayanya. Sesuai alat dan bahan dipakainya kala itu, maka aksara yang nampak lebih memperlihatkan “hasil” goresan berkaitan erat dengan memahat. Alat yang memerlukan ketrampilan ketekunan dan keahlian khusus. Karenanya seorang yang ditugaskan menggores atau memahat aksara (naskah karya sastra atau naskah prasasti) diperani pemahat yang disebut citralekha
 
        Aksara-aksara yang hadir diwujudkan ke dalam data sumber tertulis merupakan rekaman gambaran bunyi yang telah mengandung karakter dan makna penciptanya. Dicirikan oleh jenis dan gaya pahatan atau goresan pada setiap prasasti yang hadir, bentuk tebal, tipis, posisi tubuh tegak, agak tegak, miring, bentuk persegi, bulat, pipih memanjang, melebar, tambun, dan kokoh tegak. Inilah yang menyebabkan setiap prasasti adalah unicum
 
        Jikalau naskah prasasti merupakan dokumen resmi, tegas dikeluarkan oleh suatu pemerintahan berdaulat, sehingga isi dan pesannya menyangkut kepada hal-hal yang resmi “berbau istana”. Berbeda dengan karya(/su)sastra (manuscript), sebagian besar isi pesannya merupakan data kemasyarakatan yang kental pertaliannya dengan unsur-unsur kearifan lokal. Berdasarkan katagori, naskah prasasti adalah dokumen peristiwa yang benar-benar terjadi dan dituliskan oleh seorang citralekha istana.

       Sementara naskah karya sastra merupakan karya pujangga (kavya), isi dan pesannya mengenai peristiwa-peristiwa, tetapi belum berarti bahwa peristiwa itu yang pernah benar-benar terjadi. Kalimat-kalimat yang dipakai dalam suatu karyasastra secara khusus dirangkai sesuai emosi dan citra pengarang atau penggubahnya. Di dalam upaya menuangkan peristiwa sejarah menjadi kisah sejarah itu, diupayakan unsur-unsur keindahan bahasa dan kesejukan kata-kata yang diharapkan mampu mengajak pembaca larut ke dalam cerita dengan jalinan sedemikian rupa. 
 
        Berdasar kepada sifat isi pesannya, prasasti dan karya sastra dikategorikan sesuai lingkungan kebudayaan yang menghasilkannya. Prasasti benar-benar produk dengan latar kebudayaan istana (pusat), bersumber kepada kegiatan negara atau pemerintahan. Bersifat lebih halus dengan sofistikasi tinggi, dengan selera dan gaya penuh kerumitan; sedangkan karya sastra umumnya lebih menampilkan karya masyarakat yang mengandung vitalitas, sarat dengan bakat dan kekayaan terpendam. Tapi pada gilirannya justru dari karya sastra inilah acapkali ditimba hal-hal yang masih gelap dan yang mampu mengisi lorong-lorong peristiwa sejarah. 
 
        Aksara, baik yang tampil pada prasasti atau karya sastra (manuscript) dengan ciri kekhasannya masing-masing, keunikan sebagai jejak dan tapak atas pemahaman pengetahuan dan pengalaman pemangku budaya. Aksara merupakan mental template karya seni budaya, pencerminan kualitas empiris individu/ kelompok masyarakat yang kontemporer dengan masanya “Jiwa Zaman.
 
II
2.2. Sambhanda
2.1. Aksara-Aksara di Nusantara

          Sebelum inovasi Arab dan Latin, aksara yang lazim dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (kecuali Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Cina Selatan) diperkirakan ada pengaruh India. Begitu pun di Nusantara, para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya “Hindu-Budha” India yang datang dan menetap. Melangsungkan kehidupan dengan menikahi penduduk setempat. Beberapa asumsi tentang kehadiran aksara sebagai pengaruh inovasi India di Asia Tenggara. 
 
       Pakar epigrafis Prancis terkemuka, Louis-Charles Damais (l951;1955) menyatakan bahwa pengaruh India “Hindu-Budha” berkembang di Nusantara yang diajukan para ahli itu, sebenarnya tidak pernah disertai penjelasan tuntas. Lagipula pendapat atau asumsinya itu belum benar-benar menegaskan apa, darimana, bagaimana awal kehadiran dan mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara? 
 
      Dari sejumlah data yang telah dihimpun, hadir gaya aksara yang “konon inovasi India” ditengarai tidak berasal dari satu tempat, melainkan dari berbagai tempat, bahkan cukup rumit bila ditelusuri dan ditentukan darimana sebenarnya pengaruh India tersebut. Namun, pendapat atau asumsi yang terutama dilontarkan beberapa penulis Belanda itu dilandasi temperamen dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda itu selalu “seenaknya” menggunakan ungkapan atau istilah-istilah yang masih terlalu kabur. Diantaranya gejala kebiasaan mengistilahkan dan menamai bentuk yang diduga pengaruh India olehnya, dan ditemukan di Nusantara dengan istilah Hindoeisch; Koloni Hindu, Raja-raja Hindu Majapahit, Pulau Hindu untuk menyebut Pulau Bali tanpa disertai alasan dan penjelasan tuntas. Termasuk menilai semua bangunan pusat upacara keagamaan dengan istilah candi, istilah yang benar-benar Hindu-India yang sebenarnya jauh berbeda dengan wujud dan kenyataan yang disebut candi tersebut.
 
     Sarjana kolonial Belanda lainnya yakni J.L.A.Brandes, N.J. Krom dan W.F. Stutterheim. Kendati sarjana ini menonjolkan sifat-sifat asli peradaban Nusantara, namun selalu diembel-embeli istilah “yang memekakkan telinga” atas penyebutannya yakni Masyarakat Hindu-Budha Nusantara dan segala kekaburan maknanya”. Istilah yang mengesankan seakan-akan masyarakat Nusantara di dalam segala aspek sangat berhutang budi kepada orang-orang India (baca Hindu-Budha). Padahal sejauh telah dilontarkannya asumsi-asumsi tersebut, kenyataannya tidak satupun bukti tertulis yang pernah mencantumkan atau merekam peristiwa adanya dominasi Hindu-Budha baik di dalam penggunaan bahasa sehari-hari, bahasa pergaulan maupun komunikasi - interaksi sosial antara sesamanya. 
 
       Satu-satunya asumsi yang agak sesuai kenyataan tetapi berkesan “agak dipaksakan” adalah bahwa Indianisasi di Asia Tenggara antara lain disebabkan oleh kehadiran guru-guru agama Budha dan agama Hindu (terutama aliran Siwa, Wisnu dan Brahma), yang memang dari semula berasal dari wilayah India. Namun dari data arkeologis yang ada lebih membuktikan bahwa yang penyebab utama hadirnya pengaruh India di Nusantara adalah karena peran penduduk asli dari berbagai daerah Asia Tenggara kembali ke negeri asalnya setelah lama berada di India. 
 
       Dalam hal ini George Coedes dalam Les Etats Hindouises d’Indochine et d’Indonesie yang dengan jujur dan objektif mengutarakan tentang kecenderungan adanya persamaan atas beberapa pengaruh Hindu-Budha di kawasan Asia Tenggara (terutama Indocina dan Nusantara) dengan berbagai ragam daerah di daratan India. Bahwa pengaruh India atas pemakaian sistem perlambangan atau gambaran bunyi (aksara) yang berkembang di Asia Tenggara, penerapannya tidak disebabkan sikap orang-orang asing. Melainkan hubungan interaksi antara guru-guru asing dan segolongan elite lokal, kemudian terjadi penyesuaian.
 
        Fakta tidak dipungkiri bahwa kosakata Sanskerta merupakan pengaruh India telah turut memperkaya bahasa-bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan Bali. Namun penerapannya di kawasan Asia Tenggara, sama-sekali bukan disebabkan penguasaan politik India di Asia, melainkan melalui proses penyesuaian antara guru-guru. Dengan kata lain merupakan hasil kesepakatan dari segolongan elite lokal di dalam menentukan pemakaian perlambangan (aksara) menuliskan bunyi-bunyi bahasa. Lagipula bukti-bukti pengaruh bahasa dan aksara unsur pengaruh India itupun sebagian besar terbatas penggunaan istilah-istilah teknik, karena memang semula dilatarbelakangi oleh maraknya peristiwa perdagangan yang secara tegas dan signifikan selalu mengiringi pertukaran kebudayaan. Namun sekali lagi, “tidak pernah ada penaklukan” atau “kolonisasi” bangsa India seperti yang terjadi sekarang.
 
       Bukti tertua aksara pengaruh India itu, antara lain aksara Pallava yang kemudian disinyalir mengiringi perkembangan Pasca-Pallava hingga abad VII Masehi di Nusantara bagian barat. Hadirnya jenis aksara tersebut merupakan hasil seleksi kepiawaian local genius yang tiada lain merupakan diferensiasi aksara-aksara lokal, dan kaitannya dengan Pallava terlampau jauh. Lagipula persebaran aksara pengaruh India di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) dan berbagai variannya itu dijumpai hanya pada sejumlah dokumen kuno (a.l. Fu-nan, Campa, Kamboja, Negri Mon, Sunda (Jawa Barat), Jawa Tengah Jawa Timur, dan Kalimantan Timur) dengan alasan utama penyebaran agama Budha (India selatan). Jenis aksara jenis ini ditemukan dan hanya dipakai untuk kepentingan politik yang bersifat nasional-internasional. Diantaranya aksara Siddham[-matrika] yang benar-benar terpatri untuk menulis teks-teks ajaran dan mantra-mantra suci keagamaan. Pula sangat terbatas pada media-media tablet, materai, stupika (terracotta/tanah liat bakar), tanpa disertai pertanggalan, dan sulit ditentukan periodenya secara tepat. 
 
       Menurut catatan sejarah, aksara Pallava atau Pasca Pallava hanya bertahan lebih lama di kawasan Sumatra (terutama masa Sri Vijaya) dan di Semenanjung Malayu pada dokumen-dokumen (prasasti) abad II hingga abad VII Masehi (A.D.). L. Malleret menemukan bukti di Oc-Eo (kerajaan Fu-nan) diantara dokumen-dokumen tertua terdapat keterangan pada mata cincin. 
 
       Ditengarai pengaruh India terhadap aksara di Nusantara terutama di bagian barat, dengan catatan tidak/bukan sepenuhnya dominasi kebudayaan India. Karena nyata dan tegas, ditemukan pula aksara-aksara dari etnis-etnis Nusantara yang juga dikategori archais. Dengan menampilkan ciri dan gaya kemandirian daerah budaya bersangkutan, khususnya kawasan etnis yang “konon” sedikit sekali sentuhan inovasi India, yakni Nusantara bagian timur. 
 
        Keterlibatan aksara dengan daya cipta cendekiawan setempat (lokal) yang telah turut secara aktif ambil bagian dalam kancah pergaulan internasional dapat dijelaskan bahwa secara logika seseorang yang “berani” terjun ke pergaulan internasional, tentu saja disertai bekal kemampuan, sekurang-kurangnya telah memiliki alat/media komunikasi sejalan kepentingan dan kebutuhan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain di kalangan internasional. Dalam pengertian “melek baca tulis bahasa dan aksara”. Maka aksara-aksara yang ada di Nusantara dengan aneka ragam ciri, meskipun gaya dan jenis bentuknya nampak ada unsur inovasi, tetapi pada klimaksnya yang meramu dan menentukan unsur-unsur asing dari berbagai aliran merupakan kesepakatan cendekiawan Nusantara secara langsung menjaring, mencerna dan menyesuaikannya dengan unsur kepribadian setempat.
 
      Nyatanya pada periode sekurang-kurangnya abad VIII Masehi, di setiap wilayah di kawasan Asia Tenggara Daratan dan kepulauan/Nusantara telah berkembang bentuk aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki corak-corak khusus dan tersendiri. Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip sejumlah dokumen di Sumatra dan Jawa memakai jenis bahasa pengantar di masing-masing daerah pendukung budaya (a.l. Malayu, Jawa, Sunda dan Bali). 
 
      Batas antara gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan yang hadir kemudian sangat sulit ditentukan, karena besar kemungkinannya jenis-jenis aksara itu berkembang secara overlapping, hampir bersamaan. Mungkin pula gaya yang telah ada agak tersilih sementara oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru, namun proses peralihan dan pergantiannya sesuai perkembangan zaman seperti munculnya aksara pegon dan latin. Yang baru telah berkembang lebih meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja. Inilah bukti atas kuatnya daya cipta kepribadian budaya bangsa (local genius) yang menjadikan ciri aksara Nusantara. 
 
      Perlu diterangkan bahwa sejak awal terjadinya proses mempengaruhi di dalam beberapa hal memang ada masalah, namun luwesnya sistem fonetik bahasa-bahasa etnis Nusantara tidak menimbulkan kesulitan besar menuliskan aksara India. Ketika menuliskan atau mengalihaksarakan vokal (tanda bunyi diakritis) yang disebut pepat (tanda yang menyatakan bunyi è; é; ê; æ; ë) dan hiatus (bunyi peralihan dua monoftong yang berdampingan dan membentuk dua suku berurut tanpa jeda atau konsonan antara - sia – sya – sya; dua – duwa – dwa). Unsur-unsur bunyi tersebut benar-benar hanya dikenal di dalam kosakata bahasa-bahasa daerah di Nusantara yang tidak dikenal di dalam kosa kata bahasa ataupun pengaruh India. Ketiadaan komponen inilah yang justru menjadi ciri pembeda sangat signifikan antara aksara pengaruh India dan aksara Nusantara. 
 
      Oleh karena itu tatkala peristiwa inovasi berlangsung dan berkembang (difusi) kesulitan untuk menyesuaikan diri tidaklah terasa benar karena pihak yang dipengaruhi (Asia/Nusantara) telah memiliki dasar-dasar mengenal tanda-tanda bunyi. Kiat cendekiawan Nusantara sedapat-dapatnya tidak menuliskan pepat pada akhir suku kata pertama suatu pokok kata; konsonan permulaan suku kata tersebut dirangkap dengan konsonan permulaan dari suku kata kedua seperti terjadi pada dmakan, wdihan, si kbo, lmah, wdus, wkas, kdung pluk dan seterusnya. Namun juga harus diakui jikalau kerap terjadi, dimana sangcitralekha (penulis prasasti) tidak selalu konsekuen pada suku kata yang sulit atau yang tidak mungkin dirangkap, misalnya tanda [ĕ] pepat diganti bunyi [a] seperti suket–sukat; mangagem–mangagam; mapeken- mapekan dan seterusnya.
 
       Inovasi aksara Pallava yang ditemukan pada dokumen-dokumen prasasti memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan. Dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) dari Kerajaan Kutei (Kalimantan Timur) secara palaeografis diperkirakan sekitar 400 Masehi; dan sejumlah prasasti masa Tarumanagara (Jawa Barat) sekitar 450 Masehi. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara yang berhasil ditemukan seluruhnya digoreskan pada tujuh batu alam. Lima prasasti (Bogor: Ciaruteun, Muara Cianten, Cibungbulang; Jakarta:Tugu; Banten: Cidanghiyang) prasasti sloka berbahasa Sanskerta bermetrum Anustubh dan Sragdhara; dua lainnya bergoreskan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran. 
 
        Aksara Pallava hampir sejaman dengan periode Taruma dan Kutei, ditemukan pada prasasti-prasasti di Sumatra dengan gaya lokal memakai bahasa Malayu Kuno. Prasasti-prasasti di Sumatra tertua yang menandai periode Kerajaan Sri Vijaya ini disertai unsur pertanggalan ini mewakili gaya aksara periode abad ke VII (682-686 Masehi). Disusul prasasti-prasasti dari Mataram Kuno diantaranya Prasasti Canggal (732 Masehi), sejaman dengan Prasasti Ligor (775 Masehi) dijumpai di Semenanjung Melayu. Prasasti-prasasti yang disebut dianggap paling mewakili gaya aksara periode abad II-VIII Masehi, sekaligus yang menandai peristiwa keseragaman pemakaian aksara dengan pengaruh Dinasti Pallava India Selatan di asia Tenggara. Seiring pengaruh Pallava nampak corak-corak stabil pada aksara-aksara setiap kebudayaan dengan menampilkan corak khas aksara Asia Tenggara dengan memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil pada tampilan bentuk dan gaya goresan yang ditengarai sebagai hasil daya cipta kepribadian lokal (local genius) dengan tanda khas yang sangat khusus. Tanda yang sangat khas itu adalah kuncir (serif) dipakai sebagian besar aksara-aksara di Nusantara bagian barat. Tanda pada aksara-aksara tertentu dan menjadi ikon yang tidak dijumpai pada aksara-aksara pengaru India dan tempat manapun. Melainkan menjadi gaya aksara standar, selanjutnya populer disebut aksara Kavi atau aksara Jawa yang pada prinsipnya menjadi signifikan di Asia Tenggara. J.G.de Casparis (l975) menerangkan bahwa aksara Kavi atau aksara Jawa ini disebut standard form of early kawi mengembangkan sayap ke masa sesudah abad VIII Masehi:

          “. . . the script is functional without embellishment but has a certain grace owing to its perfect regularity and the balance achieved in correct spacing. The letter are are slighty sloping . . . the use of serif is systemized that some letters are always withot serif (thus i-, na, da, ja), some others are double-serifed (thus pa, sa, da, a- and ya; in the last case the second and the third verticals are serifed), most of remaining letters have a single serif which is liable to disappereance if an ulu is put on top. Two aksaras, ka and ta, invariably lose their serifs if they have a virama…”

        Sejumlah dokumen aksara Kavi ada yang tidak bertanggal ditemukan pada mantra-mantra suci yang digoreskan pada lembaran (tipis) emas, perak, yang biasanya ditanam dalam peripih-peripih bangunan pada tiap-tiap arah mata angin. Gaya dan jenis aksara ini menjadi acuan ke periode selanjutnya setelah melalu adaptasi lingkungan setempat dan perkembangan waktu hingga abad X Masehi. 
 
      Sejak abad XI Masehi terjadi perubahan seiring perpindahan pusat kekuasaan Mataram Kuno ke Jawa Timur (menurut tatanan gegografis kini) Oleh karena itu gaya aksara periode abad XI Masehi kerap disebutLater Kavi Script berlangsung hingga abad XII Masehi, periode peralihan Mataram Kuno –Kadiri dipengaruhi gaya Bali. Jikalau gaya aksara bulat lonjong adalah pakem Kavi Mataram Kuno Jawa Tengah, tatkala pusat politik Mataram bergeser lebih Timur berkembang varian aksara dengan gaya tegak, agak bersiku-siku, namun cirinya masih agak sederhana namun sangat bergaya dan dekoratif. Gaya aksara yang hadir karena pengaruh Airlangga (putra mahkota Bali keturunan Raja Jawa) ini selanjutnya menjadi kreativitas ragam dan gaya aksara, antara satu dan lainnya silih berganti dengan keunikan masing-masing selama masa dinasti raja-raja Kadiri. 
 
       Diantara gaya aksara-aksara dinasti Kadiri itu melanjutkan perjalanannya hingga pemerintahan dinasti Singhasari- Majapahit, serta dianggap mewakili gaya aksara periode abad XIII – XVI Masehi. Pada gaya aksara Singhasari-Majapahit, goresannya teratur dan anggun, ada yang dihiasi pahatan suluran yang sangat raya. Akibatnya tanda serif yang menjadi ciri karakter aksara Kavi tidak begitu nampak, terselimuti rayanya dekorasi yang variatif. Aksara gaya Kadiri merupakan puncak kreativitas seniman dengan hadirnya aneka variasi yang menadai fenomena kembalinya kekuatan pribumi (millenarisme). Kian ditegaskannya kekuatan lokal yang dicirikan oleh maraknya berbagai gaya aksara produk masyarakat luas yang dikatagori tradisi kecil (Little Tradition), diantara aksara produk istana yang dikatagori tradisi besar (Great Tradition). 
 
       Gejala Millenarisme mempengaruhi dan menjiwai aksara-aksara pahatan timbul, tebal dan kaku, yaitu jenis aksara Sukuh pada prasasti-prasasti di Candi Sukuh dan sejumlah prasasti pendek di Gunung Penanggungan (Jawa Timur). Juga hadir jenis aksara yang secara khas disebut gaya Aksara Paku dengan bentuk kaku, dimana komponen tiap karakter aksara nampak dipahatkan “terputus-putus”. Diantaranya pada Prasasti Pasir Jambe (Rabut Macan Petak), prasasti-prasasti di Tatar Sunda (Jawa Barat) seperti Prasasti Kawali, Prasasti Kebantenan, Prasasti Batutulis dan Prasasti Hulu Dayeuh dan diantaranya dipakai pada manuskrip Galunggung. 
 
       Variasi lain dari abad XIV-XV Masehi adalah aksara prasasti di kawasan Gunung Merbabu; ada juga yang disebut Aksara Budha atau Aksara Gunung, secara khusus dipakai dan digoreskan pada manuskrip, Merbabu-Merapi Scriptoria. Gaya aksara yang berkembang dipakai pada naskah-naskah Jawa Kuno antara abad XV-XVI Masehi hingga awal abad XVIII Masehi. Jenis aksara hampir serupa, ditemukan di kawasan Sumatra, antara lain prasasti-prasasti dari Sumatra Barat (Adityawarman), prasasti-prasasti di kawasan Lampung (Sumatra Selatan), juga di daerah Aceh dimana aksara dipakai dengan menggunakan dua bahasa (bilingual), bahasa Malayu dan bahasa Arab. Gaya aksara Sumatra Kuno dianggap bukan hasil perkembangan langsung atau bahkan terlepas dari pengaruh Jawa, tetapi lebih menampilkan kekentalan adaptasi lokal dengan pengaruh aksara Pallava. Pada saat yang sama, aksara prasasti-prasasti di daerah Lampung justru lebih menampilkan gaya paku (Prasasti Ulubelu; Prasasti Dadak/Batara Guru), dengan keunikan sentuhan Batak. Gaya aksara yang menjadi cikal-bakal aksara Lampung pada manuskrip kulit (dalung), sejak abad XVIII-XIX Masehi hingga sekarang.
 
III
       Paling menarik adalah aksara Bali terutama karena hampir selalu digoreskan pada daun Tal dan bahan logam. Beberapa prasasti pendek yang ditemukan secara khusus “prasasti mantra” digoreskan pada tanah liat, masih menampilkan aksara Prenagari atau Sidhhamtrika seiring dengan misi keagamaan Budha. Kenyataan ini melahirkan asumsi bahwa aksara Bali di masa lalu dipengaruhi Brahmi Kuno, dengan unsur kemiripan gaya aksara yang berkembang di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara Daratan. Sebelum abad XI Masehi, aksara Bali mendapat pengaruh Jawa Kuno dengan bahasa Jawa Kuno. Tetapi setelah itu di Jawa Timur diemukan satu-satunya prasasti yang erat kaitannya dengan Bali, yakni Prasasti Pucangan atau Calcutta dan sangat terkenal itu. Dikeluarkan oleh seorang pangeran berdarah Bali dan Jawa tahun 963 Saka/1041 Masehi. Namun sebagian besar prasasti-prasasti yang dijumpai di Bali pada masa lebih muda memperlihatkan unsur pengaruh Singhasari-Majapahit (XIII-XVI Masehi). Gaya aksara dengan teknik goresan sangat indah yang berkembang abad XII Masehi, Tribhangga. Gaya pahatan yang sangat indah dan terus ditampilkan manuskrip-manuskrip Bali sekarang. 
 
       Pada periode sesudah Klasik, sesudah abad XVI-XVII Masehi, di Nusantara ada aksara-aksara dengan istilah dan penamaan khusus dengan mengacu kepada latar dan budaya etnisnya. Aksara yang diakui oleh sang pemangku budaya ‘aksara asli” etnis, di Sumatra (aksara Aceh, Batak, Kerinci, Rejang, Lampung); di Jawa (aksara Jawa, Sunda); di Sulawesi (aksara Makasar dan Bugis); dan di Kalimantan; Aksara-aksara pengaruh luar yang pemakaiannya disesuaikan dengan kebutuhan etnis yang bersangkutan yakni aksara Arab. Aksara yang ketika Islam bertandang di Nusantara ini disebut Aksara Jawi, Aksara Pegon, Aksara Arab-Melayu. Ada juga yang disebut Aksara Arab “gundul” karena aksara-aksaranya tidak diberi penanda vokal atau penanda konsonan (diakritis); dan Aksara Latin yang merupakan pengaruh inovasi Eropa. 

       Aksara di Sumatra bagian utara pada umumnya membentuk sudut-sudut lancip yang secara umum mirip dengan aksara Aceh, sudut-sudut lancip tersebut kemudian agak menghilang pada aksara di Sumatra bagian selatan. Pemakaian Jawa dan aksara Sunda menunjukkan kecenderungan hasil perkembangan jaman kuno. Namun pada dasarnya aksara-aksara yang terdapat di berbagai etnis di Nusantara hampir selalu ditampilkan sesuai ‘ego’ pemakainya. 
 
       Kendati mungkin aksara Bugis dan aksara Makasar memperlihatkan adanya unsur pengaruh gaya aksara-aksara Sumatra, seperti yang digunakan pada aksara Batak bertaut penyesuaian kepada kebutuhan perlambangan fonem (induk aksara) pemangku budaya daerah bersangkutan. Demikian aksara Lampung dipakai guna melambangkan dua dialek bahasa mereka yakni dialek pesisir dan dialek pedalaman, yang di dalam beberapa hal bentuk dan gayanya tidak berbeda kecuali pada tanda vokalisasi. Sementara aksara Kerinci kerap disebut aksara rencong, penamaan sesuai bentuk dan gayanya aksara. 
 
       Perlu dicatat, aksara-aksara yang dikenal di dunia oleh para sarjana diklasifikasikan ke empat kategori: 1) Piktograph (berbentuk gambar seperti Hieroglyph Mesir, dan aksara Cina Kuno); 2) Ideograph (setiap aksara melambangkan obyek, seperti halnya aksara Cina kini); 3) kategori Silabik (melambangkan suku kata seperti aksara India, Jepang, Arab dan aksara-aksara di Nusantara); 4) Fonetik (terdiri dari fonem-fonem seperti halnya aksara Latin). 
 
       Ada asumsi berkembangnya aksara-aksara yang ada di dunia, diawali dari Piktograf, namun disesal-kan hingga kini belum ditemukan bukti yang berkenaan kepada asumsi itu. Kecuali ditengarai adanya perkembangan kategori ideografik yang menapaki silabik diwujudkan berupa sukukata. Kategori aksara ideografik agaknya tertancap sebagai ciri aksara Tiongkok kuno, dengan satu dan lain hal tidak sempat menancapkan pengaruh di Nusantara. Meski secara jelas sejarah mencatat para musafir Cina termasuk yang kerap berkunjung ke Nusantara dengan tujuan keagamaan bagi pengetahuan mereka sendiri, yakni mencatat dan menterjemahkan teks-teks agama Buda di Nusantara. Setelah selesai mengerjakannya naskah dibawa pulang kembali ke negerinya. Itu sebabnya aksara Tiongkok Kuna tidak pernah memasyarakat di Nusantara seperti aksara pengaruh India.
 
       Sekurang-kurangnya abad II Masehi dianggap tonggak ditemukannya bukti tertulis Nusantara (bagian barat) hadir aksara kategori silabik, telah memicu daya cipta ”local genius” dengan kekhasannya serta ragam variasinya dalam kancah perkembangan lokal itu, mencapai puncaknya pada abad VIII Masehi. Perkiraan batasan periode sepenuhnya didasarkan analisis dengan metode palaeografis karena sebagian besar data sumber tertulis umumnya tidak bertanggal, antara lain dituliskan pada lempeng atau lembaran kertas emas atau perak yang isinya berupa teks mantra berbahasa Sanskerta. Teks mantra untuk ditanam pada sumuran-sumuran bangunan suci (peripih). 
 
        Pada pertengahan abad VIII Masehi ditemukan beberapa teks-teks berbahasa Jawa Kuno dengan pertanggalan, dengan kekhasan gaya aksara yang cenderung agak membulat dan miring ke kanan 15°. Abad IX –X Masehi perlahan-lahan gayanya membulat lebih tambun menuju persegi sehingga pertemuan garis yang membentuk sudut-sudut pada bagian-bagian aksara tertentu nampak menjadi menonjol. Aksara yang selanjutnya mendasari gaya aksara-aksara di Jawa Timur (abad XI-Masehi) dan berbagai variasinya. Baik yang dipahatkan tipis dan halus, bahkan berpadu dengan inovasi gaya Bali sekalipun yang dipahatkan menonjol ke luar, sangat tebal dengan ukuran cukup besar acapkali raya dengan hiasan (sulur-suluran) sehingga bentuk aksaranya sulit dipahami yakni aksara Kwadrat, khusus dipakai menuliskan semboyan-semboyan tertentu, prasasti yang beraksara kwadrat lebih sering dipahatkan pada prasasti-prasasti pendek dan sangat khas pada masa Kadiri. 
 
        Gaya dasar menuju perkembangan aksara abad IX Masehi dengan penanda utama hadirnya serif (kuncir) ditemukan di bagian kepala aksara-aksara khusus aksara terbuka ke atas. Tampaknya remeh dan sepele namun kehadiran kuncir justru petunjuk penting yang secara tegas ikon aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara yang bukan milik India dan tidak pernah dipakai ataupun ditemukan pada aksara-aksara di India.Pemakaian serif (kuncir) mendominasi gaya dan jenis aksara prasasti prasasti di Sumatra, Jawa dan Bali bahkan menjadi ciri khas hingga masa Singhasari-Majapahit. Di Asia Tenggara Daratan tanda kuncir dikenal hampir serempak pada aksara-aksara yang berkembang di Asia Tengara Daratan seperti Campa, Birma, Kamboja juga Muangthai (Siam), kecuali Filipina. Maka dikatakan aksara senantiasa tidak terlepas dari landasan pengetahuan pemangku budaya suatu etnis (bangsa manusia) tapak walas.

2.2. Aksara: Karyaseni Budaya Adiluhung

       Paradigma selalu diajukan para sarjana bahwa bukti tertulis (data tekstual) menandai berlangsungnya masa sejarah, sementara itu sebagian besar bukti tertulis dijumpai di Nusantara bagian barat. Bagaimana dengan kenyataan Nusantara timur yang sangat minim ditemukan sumber tertulis, apakah hal itu harus dipersepsikan masyarakat yang tidak mengalami masa sejarah? Kenyataannya bahwa Nusantara sangat kaya bahasa daerah, tetapi tidak semua etnis memiliki atau meninggalkan bukti tertulis. 
 
      Dikenalnya ragam hias indegenous pada beberapa wilayah di kawasan Nusantara timur, antara lain “Garonto Passura” di Sulawesi. Keistimewaan daya cipta setempat yang telah sangat tua didasari kemapanan kreativitas sesuai kondisinya. Namun juga sangat complicated, dimana individu/kelompok masyarakat suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep tersendiri di dalam cara mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya. Dengan kata lain, gaya dan jenis suatu aksara di Nusantara memiliki Style yang mencerna unsur motif, unsur hubungan, dan unsur kualitas yang seluruhnya itu berakar pada inti budaya (hoe) sarat ide-ide atau gagasan pendukung budayanya. Keberadaan sesuatu yang dipahatkan atau apa yang digoreskan pada suatu bahan yang disebut naskah dengan kategori-kategori prasasti, karya(/su)sastra secara keseluruhan disebut sumber tertulis dalam kategori data tekstual. 
 
       Sejauh yang telah dibuktikan, aksara tertua di Nusantara adalah prasasti-prasasti Tarumanagara. Dicirikan bentuk pilin, pilin gandha ataupun sulur-suluran merupakan citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal di belahan dunia termasuk Nusantara. Sementara itu, sepanjang berlangsung periode Klasik, di Nusantara bagian timur tidak begitu banyak menghasilkan bukti-bukti secara tertulis apalagi pengaruh India dengan cap Indonesia Hindu atau jaman Hindu seperti diistilahkan sarjana Belanda, melainkan tetap mempertahankan kepribadian corak ”ASLI” pribumi. Corak kepribadian yang akrab sejak nenek moyangnya (periode prasejarah), corak kehidupan budaya yang merupakan kontinuitas budaya perundagian akhir masa Epipaleolitik sampai awal Neolitik. Kepribadian yang menyiratkan bahwa masyarakat Nusantara timur mengenal gambaran bunyi sebagai alat komunikasi dalam rangka melaksanakan interaksi sosial. 
 
        Nyatanya di wilayah ini terdapat lukisan cadas (rock art) (dengan pengecualian Sumatra dan Jawa) antara lain di Sulawesi Selatan, Muna, Seram, Kei kecil, Flores, Lomblem, Papua, Kalimantan timur dan barat yang secara kronologis motifnya menunjukkan runutan yang dapat ditelusuri. Lukisan gambar tersebut ada yang dipahatkan dengan disemprot sesuatu cairan berwarna (negatif), ada yang dicap (positif) dan digores (dipahat). Tema yang tampil dalam rock-art berupa simbol kognitif yang erat kaitannya kepada budaya agraris yang berpatokan kepada unsur kesuburan, lambang persatuan sesama, keselarasan dan keseimbangan terhadap alam dan Sang Cipta. 
 
        Gambar, lukisan, goresan yang dipahatkan pada cadas menampilkan citra khusus sebagai visualisasi verbal di dalam upaya berkomunikasi ke generasi sesudahnya diungkapan melalui sentuhan estetika oleh seniman zamannya. Sebab apa yang digambarkan bukan sesuatu yang ganjil terhadap hal-hal atau objek di luar gagasan masyarakat pendukung budaya, melainkan gagasan dari pengalaman empiris dituangkan ke dalam motif-motif lukisan secara langsung dimengerti dan dipahami keturunannya masa kemudian sebagai bagian kebudayaannya. Maka lukisan cadas adalah alat transformasi yang tiada berbeda peran dan fungsi bahasa tertulis atau aksara. Gambar atau lukisan dengan anekaragam motif-motifnya adalah bukti paling awal pola aksara, konsep komunikasi yang disepakati dan secara efektif mampu menjalin interaksi sesama.

        Nusantara timur yang oleh bagi sebagian pendapat dianggap “tidak mengenal budaya tulis” justru realitas yang melandasi pengetahuan budaya yang paling awal, dituangkan melalui lukisan cadas (rock art) Adanya lukisan cadas (rock art) tersebut, tentu saja disertai maksud dan tujuan tertentu, selain merupakan simbol pengetahuan empiris juga harapan kepada generasi akan datang agar merasakan makna komunikatif dirinya dan leluhurnya yang telah melampui perjalanan waktu berabad-abad. Lukisan cadas (rock art) itu adalah gambar, lukisan ataupun pahatan yang dapat dikategori piktografik seperti yang dikenal peradaban Mesir Purba dan Tiongkok kuno merupakan gambar atau lukisan konkrit melalui perkembangan waktu beralih kepada Ideografik berbeda hal dengan Nusantara yang mengambil bentuk Silabik (suku kata). 
 
        Lukisan cadas (rock art) adalah perwujudan karyaseni manusia sejak masa prasejarah yang sarat simbol dan lambang; media komunikasi budaya yang sifatnya kognitif serta membuka peluang untuk dapat dipahami. Sarat makna setara yang membuktikan kemampuan manusia protosejarah mengeksternalisasikan gagasan pengetahuan ke dalam keahlian karya seni menggores dan memahat. Maka sesungguhnya rock art adalah prototipe aksara Nusantara yang melanjutkan perkembangannya ke masa-masa kemudian sebagai kekuatan dasar atas kemampuan yang dimiliki masyarakat Nusantara dengan segenap kekayaan etnisnya. 
 
        Dikembalikan kepada definisinya, aksara yang sebenarnya pinjaman atau interferensi kata bahasa Sanskerta, yakni akshara. Didefinisikan sesuatu yang imperishable letter, words syllable, the sacred syllable, sound letter, document, epistle. Istilah yang awalnya ditujukan sebagai sebutan khusus dan hormat kepada the supreme deitya supreme creational principle, a term used equivalently to bijak. Oleh karena itu senarai dengan definisinya, maka semula aksara dicipta dan hadir dalam wacana teks, ditujukan khusus kepada segala sesuatu hal yang bersifat keagamaan (mantra-mantra suci). 
 
       Demikian juga tatkala aksara hadir sebagai teks menggunakan bahasa daerah atau wilayah, di dalam rangka menuliskan segala sesuatu yang “keramat” sesuai dengan keyakinan dan unsur kepercayaan para pemangku budayanya. Dikala itu mungkin belum ada gejala pengaruh atau inovasi luar, sehingga belum diperlukan menyerap kosa kata atau istilah bahasa lain. Ketika mobilitas sosial menyeruak dan marak mewarnai kehidupan mulai merasa perlu serapan serapan bahasa yang berada di luar kebudayaan. Unsur-unsur luar itu diadaptasi dan diserap sesuai kebutuhan budaya yang dipengaruhinya. Maka sesungguhnya aksara bukan sekedar gambaran bunyi yang berkaitan kepada konsep asasi manusia sebagai mahluk sosial, Animal Simbolicum; melainkan gift of the supreme deity kepada daya cipta manusia, karena itu pada awalnya digunakan menuliskan segala sesuatu bersifat sakral, yang imperishable letter. Lambat laun fungsinya menjadi pragmatis sebagai media pokok menjembatani komunikasi antar manusia sebagai makhluk sosial. 
 
      Dalam kaitan ini tatanan geografis Nusantara telah membuka peluang hubungan terjadinya inovasi sebagai peristiwa (proses) interaksi sosial. Dalam proses interaksi sangat wajar bilamana terjalin komunikasi saling membutuhkan antara unsur yang mempengaruhi dan unsur yang dipengaruhi. Apakah pengaruh tersebut terjadi searah atau dua arah (secara timbal balik), tergantung faktor-faktor peranan pemakainya dan peranan hubungan diantara para pemangku budaya. 
 
      Ditemukannya aneka ragam motif lukisan cadas (rock art) merupakan bertahannya konsep dasar gaya seni tersebut, yang diimposisi ulang sebagai motif dasar baik menggambar atau menggores panil-panil pada bangunan suci yang merupakan unsur dan komponen bangunan, alat atau benda-benda upacara, peralatan sehari-hari, juga motif-motif yang ditemukan pada kain (tenun ikat, batik). 
 
       Salah satu tradisi menggambar dan menggores, di dalam rangka menuangkan pengalaman empiris hingga kini ditemukan antara lain naskah yang disebut prasen masyarakat Bali. Digoreskan pada daun tal atau kain (fabric), isinya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat puja sastra. Oleh karena itu kerap dijumpai prasen bergambar Mahabharata, Ramayana dan Bharatayuddha dan cerita-cerita yang bertaut kepada ajaran-ajaran suci tentang kehidupan dunia dan akhirat atau semacam kalender yang di dalam istilah lokal disebut Palintangan. Bukti lainnya adalah corak pada kain tenun, baik tenun ikat ataupun batik seperti adanya motif flora, fauna, unsur alam yang dipersonifikasi dan diadaptasi ke bentuk modifikasi sedemikian rupa. Sebenarnya representasi wujud atas pemahaman simbol atas makna budaya di lingkungan kehidupannya.
 
IV
       Diantara motif motif flora adalah pohon dengan komponennya mengacu simbol pohon kehidupan, tree of life yang kerap dipahat sebagai relief utama bangunan-bangunan suci, seperti kalpawreksa, kalpadaru, kalpadruma, kalpavalli. Lambang kalpa ”keinginan, masa dunia, harapan”; wreksa, daru, druma atau valli dengan kesataraan arti pohon atau kayu. Maka kalpawreksa, kalpadaru, kalpadruma, kalpavalli adalah simbol bermakna pohon pengharapan, pohon masa dunia, pohon yuga (jaman), atau pohon keinginan. 
 
       Pohon adalah unsur kayu (Jawa: kekayon) dengan pusatnya gunung, maka pohon, kayu dan gunung bermakna setara yang melambangkan ke-Esa-an sebagai simbol kesatuan jagat semesta. Termasuk motif meru yang melambangkan tingkatan surgawi, karena itu di dalam pengggabaran pohon kehidupan kerap disertakan unsur fauna. Kiranya pula pada tenun ikat juga ditemukan motif-motif manusia (bagian-bagian tubuh seperti badan, genital telapak tangan, atau telapak kaki) manusia tengah memegang senjata dengan posisi berperang, binatang (lipan, babi, anoa, ikan, cumi-cumi), kuda (adakala tampil penunggang), perahu, dan lambang-lambang lainnya. 
 
        Aksara karya seni kesenian dalam berbagai pengertian, aktivitas yang terjadi oleh proses “cipta-rasa-karsa” tidak sama tetapi tidak seluruhnya berbeda dengan science dan teknologi. Cipta bidang kesenian mengandung pengertian terpadu antara kreativitas (invention), inovasi yang dipengaruhi rasa (emotion, feeling). Namun logika, daya nalar, mengimbangi emosi dari waktu ke waktu dan terkadang dalam kadar cukup tinggi; rasa, timbul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa, bersifat personal (kolektif), bergantung kepada lingkungan kebudayaan (But Muchtar dan Soedarsono 1987:01; cf., I Made Bandem 1991:49). Aksara berkait kepada kesenian (sistem) dengan melibatkan bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, kepercayaan dan pengetahuan. Penampilan ekspresif kesenian inilah yang berhubungan erat dengan kebudayaan yang dinyatakan melalui goresan, pahatan gambaran-gambaran tertentu. 
 
        Suatu karya dan kesenian adalah kreativitas senantiasa berkembang selaras kreativitas zaman. Maka tiap-tiap jenis dan gaya aksara tampak dengan memiliki keunikan tersendiri merupakan representasi yang diproyeksi sesuai masa, zaman dan lingkungan, tempat dimana individu/kelompok pemangku budaya itu hidup. Di dalam mekanisme menampung dua sektor terpenting kehidupan manusia yang selalu mengalami perluasan berbagai bidang kegiatan. Sektor kebutuhan teknologi dan kebutuhan sektor ilmu pengetahuan. Maka perkembangan gaya dan bentuk aksara berkaitan kepada upaya penyesuaian terhadap perubahan lingkungan dan ilmu pengetahuan teknologi. 
 
        Semua gambar yang dipahatkan, dilukiskan dan digoreskan pada berbagai media media, dengan hiasan motif dan gaya aksara, tiada lain berpangkal kepada konsep dasar yang dikenal sejak masa proto sejarah yakni ragam hias geometris (geometrical ornament) dengan dasar ungkapan garis tidak beraturan, pola segitiga (tumpal) a.l. (anyam)-kepang, pilin-(berganda), double spiral, medallion (bulatan), meander dan swastika. Rangkaian pola inilah yang mendasari konsep pengalaman pengetahuan manusia secara kognitif tatkala mewujud bentuk aksara Piktograf –Ideograph - Silabik – Fonetik. Sebagaimana fungsi bahasa, aksara memiliki fungsi alat komunikasi dengan tingkat mutu tertentu. Dalam hal efektivitas penyampaian pesan dalam jangka waktu lebih panjang, juga kemampuan secara langsung berbicara melampaui waktu tentang aspek-aspek kebudayaan tanpa kecuali. Dalam pengertian, aksara adalah pencerminan kebudayaan setelah melalui proses penyesuaian yang lebih sempurna.

3. Pamungkas: Aksara “Tat Tvam Asi

       Aksara merupakan karya agung yang merefleksikan kualitas diri manusia sebagai animal simbolicumdalam tataran fenomenologis. Aksara bukan sekadar gambaran bunyi ke dalam wujud simbol angka, tulisan, dan gambar, juga bukan sekadar karya seni budaya. Melainkan seutuhnya penampilan tertinggi kesadaran manusia, kreativitas manusia menangkap struktur kehidupan dengan keberadaan dunia sebagai-mana dianugrahkan Yang Maha Tinggi (Gift). Representasi aksara dalam berbagai aspeknya, secara induktif manusia menyimpulkan esensi kehidupan menjadi bermakna; dan secara abstraktif (nirsadar) membedakan hal-hal yang essensial dan hal-hal yang tidak essensial. 
 
      Secara sistematik, aksara berada pada tataran filsafat (imperishable letter), manusia mengetengahkan kodrat (gift of the supreme deity) atas subyektifitasnya, yakni manusia dalam dimensi subyek (Aku). Yang mencakupi ontologik, Fungsional dan Mitik. Aku Ontologik mendasari dimensi ketika Aku mengambil jarak pada objek, meneliti dan menguasai secara instrumental–teknologik, penerapan sistematikal akal budi (daya cipta) kolektif di dalam lingkup kebudayaan. Proses pembudayaan yang berlangsung secara dialektik, yakni subyek yang merujuk kepada obyek dan pada saat yang sama berlangsung obyek merujuk kepada subyek. Aku Fungsional adalah manusia melihat dirinya secara intensioanalitas bersumber kepada subyek. Dimana Aku manusia adalah makhluk dinamika secara abstrak menangkap dan memaknai warna-warna kehidupan. Di sini yang dimaksud makna adalah persepsi atau ekspresi internal (gagasan) yang dipresentasi ke bentuk aksara dan bahasa (langue – parole). 
 
       Aksara (dan bahasa) sebagai daya cipta akal budi manusia dalam tatanan Aku Mitik. Proses dimana Aku manusia melebur (sublim) dengan kekuatan alam tiada lain adalah sikap religius dengan kekuatan transedensinya mengatasi kesadaran dirinya sebagai makhluk yang mewujud karena gift tadi (Aku adalah dirinya, Aku ada karena tiada, tiada yang ada jika tidak ada yang tiada). 
 
        Aku ontologik, Aku Fungsional, Aku Mitik merupakan proses pengejawantahan manusia dengan segenap unsur biologisnya menempatkan, menyeimbangkan dan menyatukan dirinya ke dalam tatanan unsur-unsur dan energi-energi alam semesta. Sebab manusia sebagai organisme dengan struktur yang subsisten, artinya secara biologis selalu memperbaharui diri (bermakna), dimana Aku sebagai subyek bukan sekedar tindakan melainkan subyek dari pemikiran yang refleksif yang membawa kepada pengenalan diri ”ego-cogito”. Aksara merupakan wujud pengenalan diri dengan menjalin hubungan terhadap alam, disamping kelangsungan menghayati diri sebagai hakikat ”transedensi” yang bereksistensi. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Marleau-Ponty, bahwa: 

      ”... at the root off all our experiences and all our reflections, we find then , a being which immediately recognize itself, because it is knowledge both of itself and all the things, and which knows its own existence, not by observation and as a given fact, not by inference from any idea itself, but through direct contrast with that existence...”. Aksara adalah eidos, mitik simbolik dari fungsi-fungsi somatik keberadaan dan keunggulan karyaseni budaya manusia sebagai makhluk historis Aku Dalam Budaya ” Cogito Ergo Sum” atau ”Tat Tvam Asi”.

Anggota


Perpustakaan SMA Negeri 3 Cimahi. Diberdayakan oleh Blogger.