Mading Perpustakaan 14 Februari 2011 (1)

Prabu Siliwangi adalah Muslim



Betapa beratnya merubah pandangan dan pengetahuan masyarakat yang sudah mendarah daging tentang sesuatu. Demikian kuatnya sehingga hal-hal yang baru akan dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan yang mungkin akan menghancurkan kemapanan. Tetapi aku betul-betul  yakin dalam masyarakatku masih banyak orang-orang yang berhati bersih, ihlas mendengarkan dan menyimak dengan cermat sebelum mereka memutuskan sesuatu itu benar, kurang tepat atau malah salah besar. Salah satu soal yang menggodaku sehingga aku rindu untuk segera menyampaikannya adalah 'sejarah umat Islam di Indonesia' dan 'umat Islam dalam sejarah'.
Yang pertama berkaitan dengan realitas dan fakta penulisan sejarah umat Islam yang ada sekarang, menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah dan karenanya pastilah telah lama membentuk pola pikir pada sebagian masyarakat Indonesia. Yang kedua berkaitan dengan fakta yang benar benar faktuil tentang peran umat Islam selama ratusan tahun dalam kehidupan masyarakat yang sebagian besar tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, atau sengaja dikaburkan.
Penulisan sejarah memang sarat dengan kepentingan politik. Bagaimana sejarah itu ditulis bisa jadi alat melanggengkan kekuasaan seseorang atau suatu rezim. Contohnya adalah apa yang dilakukan Eugene Dubois. Setelah melakukan penelitian di pulau Jawa, khususnya di Mojokerto dan Kediri, ia berpendapat bahwa manusia yang pernah hidup di Indonesia adalah pithecantrophus erectus alias manusia kera yang berdiri tegak. Manusia jenis ini juga ditemukan di wilayah Afrika dan Asia lainnya. Sementara penelitian di Eropa menemukan jenis
lain, yaitu homo sapiens bascilus atau manusia yang sudah bisa berfikir. Sudah bisa diduga bagaimana kesimpulannya : manusia eropa atau berkulit putih lebih pintar dan lebih maju diban
dingkan orang Asia atau Afrika. Wajar saja kalau orang Eropa menjadi kaum penjajah, dan orang Asia dan Afrika menjadi kaum terjajah. Karena misi utama penjajahan adalah memper-
adabkan manusia pribumi. Itulah contoh sikap hipokrit orang Eropa. Mengatasnamakan kajian
ilmiah tetapi maksud utamanya adalah membenarkan penjajahan.
Monstesquieu yang terkenal karena teori Trias Politica-nya malah beranggapan bahwa tidak mungkin Tuhan memberikan ruh kepada orang Negro yang hitam kelam. Dan karena itu musustahil bagi kita untuk bisa berbelaskasihan pada mereka. Mereka hanya cocok menjadi budak budak belian. Rudyar Kipling bahkan menyebut mereka half devil and half child (setengah setan dan setengah kanak-kanak). Jadi penjajahan merupakan tugas orang kulit putih memanusiakan bangsa pribumi. Aduh, kurang ajar betul... Nah, di Indonesia Timur Belanda menemukan etnis kulit hitam yang mirip orang Afrika, mereka menamainya Papua, yang artinya daerah hitam tempat perbudakan. Sayang sekali nama Papua dianggap lebih keren ketimbang nama Irian yang berarti sinar yang menghalau kabut.
Dalam kaitan dengan bagimana umat Islam dalam sejarah, sejak lama penjajah melakukan pendistorsian atas sejarah. Mereka ingin menggambarkan betapa bangsa Indonesia menjadi maju tatkala diperintah raja-raja Hindu dan Budha. Datangnya Islam tidaklah menghapuskan kehinduan mereka. Bahkan dalam kondisi zaman sekarang pun kehinduan itu tetap eksis. Contohnya adalah penulisan sejarah Prabu Siliwangi, raja orang Sunda yang dianggap punya kesaktian luar biasa, dan demi mempertahankan keyakinan hindunya, ia berubah menjadi harimau, sering muncul di hutan larangan yang bernama Hutan Sarongge di gunung Salak, sedangkan keturunannya seperti Suryakancana menguasai gunung Gede, menikahi jin (entah bagaimana wujud manusia ketururunannya yang hasil blasteran manusia dan jin ini), bahkan melalui tapa brata dan ritual-ritual khusus Prabu Siliwangi atau eyang Suryakancana ini bisa diundang datang, mungkin menghadiri resepsi atau syukuran atas maksud-maksud tertentu. Demikian cerita seterusnya berkembang dalam tradisi lisan dan dongeng orang Sunda.
Tahukah anda, dalam buku Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, bersumberkan buku Carita Purwaka Caruban Nagari  yang ditulis Pangeran Arya Cirebon (1720), Prabu Siliwangi (PS) ternyata masuk Islam. Ia menikah dengan seorang wanita bernama Nyai Subang Larang,  seorang santri putri Syekh Hasanudin yang dikenal sebagai Syekh Qura. Nah dari pernikahannya ini lahirlah tiga orang anak : Walang Sungsang (lk), Nyai Rara Santang (pr), dan Raja Sangara (lk). Nyai Rara Santang dinikahi Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullahpun, seorang Arab turunan Bani Ismail, kemudian berputera yang diberi nama Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Jadi salah seorang wali sanga itu ternyata cucu PS. Dengan demikian tidaklah benar cerita yang menyatakan PS sebagai seorang Hindu, bahkan rela meninggalkan istananya hanya untuk mempertahankan kehinduannya. Cerita ini sesungguhnya berasal dari penjajah Belanda. Bertujuan mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa Indonesia karena keengganan menerima kenyataan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan cara-cara damai, di antaranya melalui pernikahan campuran, hidup penuh sikap toleran bersama-sama umat Hindu serta berpengaruh besar dalam pembentukan tatanan sosial dan kultural bangsa ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat, dan sampai jumpa di tulisan yang lain....

Mading Perpustakaan 14 Februari 2011 (2)

Alat Serpih (Flakes)

 
Dalam konteks perkembangan alat-alat batu tingkat Plestosen di Indonesia dan di daerah-daerah sekitarnya di Asia Tenggara, alat serpih sering kali ditemukan bersama dengan kapak perimbas atau alat lainnya. Tempat-tempat penemuan alat serpih yang paling menonjol di Indonesia adalah di Jawa (Punung, Sangiran, Gombong dan Ngandong ); Sulawesi Selatan (Cabbenge, Lahat); di Flores (Mangeruda); di Timur (Gassi Liu dan Sagadat).
Tradisi alat serpih menghasilkan perkakas-perkakas yang berbentuk sederhana dengan memperlihatkan kerucut pukul yang jelas. Bahan batuan yang umumnya digunakan adalah beberapa jenis batuan tufa dan gamping kersikan serta batuan endap.
 
Alat serpih dan bilah berukuran kecil dan besar (antara 4-10 cm), dan rata-rata menunjukan kerucut pukul yang jelas. Sesuai dengan bentuknya, alat tersebut digunakan sebagai alat penggaruk atau serut, gurdi, penusuk, dan pisau. Sebagian alat serpih dan bilah menunjukan teknik pekerjaan yang telah maju, dengan penyiapan bentuk-bentuk alat secara teliti sebelum dilepaskan dari batu intinya sehingga pada sejumlah alat tampak faset-faset di dataran pukulnya (Teknik pseudo Lavallois). Di dalam konteks tradisi alat serpih tingkat Plestosen di Indonesia, sebagian alat serpih-bilah dari Punung ini tergolong maju.
     Alat serpih pertama kali ditemukan oleh Koenigswald pada tahun 1934. Alat dikumpulkan dari permukaan tanah barat laut Desa Ngebung. Setelah penemuan pertama ini akhirnya banyak penemuan-penemuan baru yang berhubungan dengan alat-alat serpih. Alat serpih ini kemungkinan senjata kecil yang digunakan pada masa praaksara terutama untuk keperluan mengolah makanan.

Sumber Gambar
Poesponegoro, M.D. dkk. 12008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.

Mading Perpustakaan 14 Februari 2011 (3)

Aksara Nusantara - Dwipantara


I. Manggala

         Aksara merupakan pinjaman kata (istilah) bahasa Sanskerta, akshara. Aksara juga disebut huruf-abjad (bahasa Arab) adalah suatu lambang bunyi atau ujaran (fonem); sedangkan bunyi adalah lambang pengertian. Secara umum aksara adalah suatu tanda-tanda grafis yang dipakai manusia sebagai salah satu alat komunikasi yang mewakili suatu ujaran, alat untuk mencatat setiap ujaran secara sistematis. Ke dalam pengertian aksara merupakan media untuk menyampaikan ide-ide, gagasan-gagasan, maksud seseorang kepada orang lain yang tidak dapat disampaikan melalui pembicaraan lisan atau ujaran.

        Berbicara tentang aksara tidak terlepas dari kedudukannya sebagai sumber tertulis (data tekstual). Pada masa paling awal bukti otentik aksara ditandai oleh hadirnya prasasti. Di sini prasasti memiliki kedudukan sebagai data utama, karena sebagian besar prasasti hampir selalu kontemporer masanya. Dibuat dan dikeluarkan atas wewenang raja, penguasa tertinggi suatu pemerintahan resmi, negara atau kerajaan berdaulat. Isi-pesannya berkenaan dengan titah atau anugrah raja/penguasa kepada seseorang yang berjasa atau dalam rangka memutuskan sesuatu perkara hukum (perdata). Prasasti adalah Surat Keputusan (SK) atau dokumen resmi pemerintah. Kehadiran suatu prasasti di masa lalu selalu diiringi upacara resmi dengan mellibatkan pemerintah langsung sebagai pembuat keputusan hukum. Itu sebabnya prasasti dipandang sangat sakral dengan sebutan hormat Sanghyang Ajna Prasasti.

       Suatu prasasti ketika diputuskan untuk dibuat dan dikeluarkan sama artinya dengan dikukuhkannya keputusan resmi pemerintah. Oleh karena itu suatu prasasti tidak hanya dibuat satu, prasasti asli digoreskan pada media bahan yang lebih kuat dan permanen, biasanya dipilih bahan batu. Sedangkan copy atau tembusan (tinulad) digoreskan pada lempeng atau lembar tembaga - tamra prasasti - lebih mudah dibawa dan dipindahkan. Jumlah copy atau tembusan disesuaikan kepada pejabat desa yang diundang hadir sebagai (tatra) saksi. Prasasti merupakan dokumen otentik tentang gambaran bunyi (aksara) yang sarat mengandung sumber dan record – yang berbicara atas bukti-bukti langsung warisan budaya Nusantara di masa lalu.
 
       Dari bukti prasasti yang telah berhasil ditemukan hingga kini, media menggoreskan aksara meliputi batu, logam (emas, perunggu, tembaga), kayu, juga bahan-bahan lain yang lebih lunak seperti daun tal (ron-tal), atau nipah. Sedangkan alat menggores atau memahat aksara, disesuaikan kadar kekerasan bahan yang dipergunakannya semacam tatah/pisau kecil, yang pada bagian ujungnya dibentuk melengkung, pipih, sangat tajam. Selain untuk menorehkan aksara, alat ini juga digunakan untuk mengiris dan menghaluskan bahan (daun) menjadi lempiran-lempiran dengan ukuran yang diperlukan panjang, lebar dan ketebalan tertentu yang siap pakai. Sementara bahan-bahan keras seperti batu atau jenis logam tertentu (perunggu, tembaga emas) dipakai karena dianggap lebih tahan lama. Tentu saja, pilihan bahan (media) dipakai selaras kepentingan dan sumber daya yang diperoleh di lingkungan budayanya. Sesuai alat dan bahan dipakainya kala itu, maka aksara yang nampak lebih memperlihatkan “hasil” goresan berkaitan erat dengan memahat. Alat yang memerlukan ketrampilan ketekunan dan keahlian khusus. Karenanya seorang yang ditugaskan menggores atau memahat aksara (naskah karya sastra atau naskah prasasti) diperani pemahat yang disebut citralekha
 
        Aksara-aksara yang hadir diwujudkan ke dalam data sumber tertulis merupakan rekaman gambaran bunyi yang telah mengandung karakter dan makna penciptanya. Dicirikan oleh jenis dan gaya pahatan atau goresan pada setiap prasasti yang hadir, bentuk tebal, tipis, posisi tubuh tegak, agak tegak, miring, bentuk persegi, bulat, pipih memanjang, melebar, tambun, dan kokoh tegak. Inilah yang menyebabkan setiap prasasti adalah unicum
 
        Jikalau naskah prasasti merupakan dokumen resmi, tegas dikeluarkan oleh suatu pemerintahan berdaulat, sehingga isi dan pesannya menyangkut kepada hal-hal yang resmi “berbau istana”. Berbeda dengan karya(/su)sastra (manuscript), sebagian besar isi pesannya merupakan data kemasyarakatan yang kental pertaliannya dengan unsur-unsur kearifan lokal. Berdasarkan katagori, naskah prasasti adalah dokumen peristiwa yang benar-benar terjadi dan dituliskan oleh seorang citralekha istana.

       Sementara naskah karya sastra merupakan karya pujangga (kavya), isi dan pesannya mengenai peristiwa-peristiwa, tetapi belum berarti bahwa peristiwa itu yang pernah benar-benar terjadi. Kalimat-kalimat yang dipakai dalam suatu karyasastra secara khusus dirangkai sesuai emosi dan citra pengarang atau penggubahnya. Di dalam upaya menuangkan peristiwa sejarah menjadi kisah sejarah itu, diupayakan unsur-unsur keindahan bahasa dan kesejukan kata-kata yang diharapkan mampu mengajak pembaca larut ke dalam cerita dengan jalinan sedemikian rupa. 
 
        Berdasar kepada sifat isi pesannya, prasasti dan karya sastra dikategorikan sesuai lingkungan kebudayaan yang menghasilkannya. Prasasti benar-benar produk dengan latar kebudayaan istana (pusat), bersumber kepada kegiatan negara atau pemerintahan. Bersifat lebih halus dengan sofistikasi tinggi, dengan selera dan gaya penuh kerumitan; sedangkan karya sastra umumnya lebih menampilkan karya masyarakat yang mengandung vitalitas, sarat dengan bakat dan kekayaan terpendam. Tapi pada gilirannya justru dari karya sastra inilah acapkali ditimba hal-hal yang masih gelap dan yang mampu mengisi lorong-lorong peristiwa sejarah. 
 
        Aksara, baik yang tampil pada prasasti atau karya sastra (manuscript) dengan ciri kekhasannya masing-masing, keunikan sebagai jejak dan tapak atas pemahaman pengetahuan dan pengalaman pemangku budaya. Aksara merupakan mental template karya seni budaya, pencerminan kualitas empiris individu/ kelompok masyarakat yang kontemporer dengan masanya “Jiwa Zaman.
 
II
2.2. Sambhanda
2.1. Aksara-Aksara di Nusantara

          Sebelum inovasi Arab dan Latin, aksara yang lazim dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (kecuali Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Cina Selatan) diperkirakan ada pengaruh India. Begitu pun di Nusantara, para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya “Hindu-Budha” India yang datang dan menetap. Melangsungkan kehidupan dengan menikahi penduduk setempat. Beberapa asumsi tentang kehadiran aksara sebagai pengaruh inovasi India di Asia Tenggara. 
 
       Pakar epigrafis Prancis terkemuka, Louis-Charles Damais (l951;1955) menyatakan bahwa pengaruh India “Hindu-Budha” berkembang di Nusantara yang diajukan para ahli itu, sebenarnya tidak pernah disertai penjelasan tuntas. Lagipula pendapat atau asumsinya itu belum benar-benar menegaskan apa, darimana, bagaimana awal kehadiran dan mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara? 
 
      Dari sejumlah data yang telah dihimpun, hadir gaya aksara yang “konon inovasi India” ditengarai tidak berasal dari satu tempat, melainkan dari berbagai tempat, bahkan cukup rumit bila ditelusuri dan ditentukan darimana sebenarnya pengaruh India tersebut. Namun, pendapat atau asumsi yang terutama dilontarkan beberapa penulis Belanda itu dilandasi temperamen dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda itu selalu “seenaknya” menggunakan ungkapan atau istilah-istilah yang masih terlalu kabur. Diantaranya gejala kebiasaan mengistilahkan dan menamai bentuk yang diduga pengaruh India olehnya, dan ditemukan di Nusantara dengan istilah Hindoeisch; Koloni Hindu, Raja-raja Hindu Majapahit, Pulau Hindu untuk menyebut Pulau Bali tanpa disertai alasan dan penjelasan tuntas. Termasuk menilai semua bangunan pusat upacara keagamaan dengan istilah candi, istilah yang benar-benar Hindu-India yang sebenarnya jauh berbeda dengan wujud dan kenyataan yang disebut candi tersebut.
 
     Sarjana kolonial Belanda lainnya yakni J.L.A.Brandes, N.J. Krom dan W.F. Stutterheim. Kendati sarjana ini menonjolkan sifat-sifat asli peradaban Nusantara, namun selalu diembel-embeli istilah “yang memekakkan telinga” atas penyebutannya yakni Masyarakat Hindu-Budha Nusantara dan segala kekaburan maknanya”. Istilah yang mengesankan seakan-akan masyarakat Nusantara di dalam segala aspek sangat berhutang budi kepada orang-orang India (baca Hindu-Budha). Padahal sejauh telah dilontarkannya asumsi-asumsi tersebut, kenyataannya tidak satupun bukti tertulis yang pernah mencantumkan atau merekam peristiwa adanya dominasi Hindu-Budha baik di dalam penggunaan bahasa sehari-hari, bahasa pergaulan maupun komunikasi - interaksi sosial antara sesamanya. 
 
       Satu-satunya asumsi yang agak sesuai kenyataan tetapi berkesan “agak dipaksakan” adalah bahwa Indianisasi di Asia Tenggara antara lain disebabkan oleh kehadiran guru-guru agama Budha dan agama Hindu (terutama aliran Siwa, Wisnu dan Brahma), yang memang dari semula berasal dari wilayah India. Namun dari data arkeologis yang ada lebih membuktikan bahwa yang penyebab utama hadirnya pengaruh India di Nusantara adalah karena peran penduduk asli dari berbagai daerah Asia Tenggara kembali ke negeri asalnya setelah lama berada di India. 
 
       Dalam hal ini George Coedes dalam Les Etats Hindouises d’Indochine et d’Indonesie yang dengan jujur dan objektif mengutarakan tentang kecenderungan adanya persamaan atas beberapa pengaruh Hindu-Budha di kawasan Asia Tenggara (terutama Indocina dan Nusantara) dengan berbagai ragam daerah di daratan India. Bahwa pengaruh India atas pemakaian sistem perlambangan atau gambaran bunyi (aksara) yang berkembang di Asia Tenggara, penerapannya tidak disebabkan sikap orang-orang asing. Melainkan hubungan interaksi antara guru-guru asing dan segolongan elite lokal, kemudian terjadi penyesuaian.
 
        Fakta tidak dipungkiri bahwa kosakata Sanskerta merupakan pengaruh India telah turut memperkaya bahasa-bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan Bali. Namun penerapannya di kawasan Asia Tenggara, sama-sekali bukan disebabkan penguasaan politik India di Asia, melainkan melalui proses penyesuaian antara guru-guru. Dengan kata lain merupakan hasil kesepakatan dari segolongan elite lokal di dalam menentukan pemakaian perlambangan (aksara) menuliskan bunyi-bunyi bahasa. Lagipula bukti-bukti pengaruh bahasa dan aksara unsur pengaruh India itupun sebagian besar terbatas penggunaan istilah-istilah teknik, karena memang semula dilatarbelakangi oleh maraknya peristiwa perdagangan yang secara tegas dan signifikan selalu mengiringi pertukaran kebudayaan. Namun sekali lagi, “tidak pernah ada penaklukan” atau “kolonisasi” bangsa India seperti yang terjadi sekarang.
 
       Bukti tertua aksara pengaruh India itu, antara lain aksara Pallava yang kemudian disinyalir mengiringi perkembangan Pasca-Pallava hingga abad VII Masehi di Nusantara bagian barat. Hadirnya jenis aksara tersebut merupakan hasil seleksi kepiawaian local genius yang tiada lain merupakan diferensiasi aksara-aksara lokal, dan kaitannya dengan Pallava terlampau jauh. Lagipula persebaran aksara pengaruh India di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) dan berbagai variannya itu dijumpai hanya pada sejumlah dokumen kuno (a.l. Fu-nan, Campa, Kamboja, Negri Mon, Sunda (Jawa Barat), Jawa Tengah Jawa Timur, dan Kalimantan Timur) dengan alasan utama penyebaran agama Budha (India selatan). Jenis aksara jenis ini ditemukan dan hanya dipakai untuk kepentingan politik yang bersifat nasional-internasional. Diantaranya aksara Siddham[-matrika] yang benar-benar terpatri untuk menulis teks-teks ajaran dan mantra-mantra suci keagamaan. Pula sangat terbatas pada media-media tablet, materai, stupika (terracotta/tanah liat bakar), tanpa disertai pertanggalan, dan sulit ditentukan periodenya secara tepat. 
 
       Menurut catatan sejarah, aksara Pallava atau Pasca Pallava hanya bertahan lebih lama di kawasan Sumatra (terutama masa Sri Vijaya) dan di Semenanjung Malayu pada dokumen-dokumen (prasasti) abad II hingga abad VII Masehi (A.D.). L. Malleret menemukan bukti di Oc-Eo (kerajaan Fu-nan) diantara dokumen-dokumen tertua terdapat keterangan pada mata cincin. 
 
       Ditengarai pengaruh India terhadap aksara di Nusantara terutama di bagian barat, dengan catatan tidak/bukan sepenuhnya dominasi kebudayaan India. Karena nyata dan tegas, ditemukan pula aksara-aksara dari etnis-etnis Nusantara yang juga dikategori archais. Dengan menampilkan ciri dan gaya kemandirian daerah budaya bersangkutan, khususnya kawasan etnis yang “konon” sedikit sekali sentuhan inovasi India, yakni Nusantara bagian timur. 
 
        Keterlibatan aksara dengan daya cipta cendekiawan setempat (lokal) yang telah turut secara aktif ambil bagian dalam kancah pergaulan internasional dapat dijelaskan bahwa secara logika seseorang yang “berani” terjun ke pergaulan internasional, tentu saja disertai bekal kemampuan, sekurang-kurangnya telah memiliki alat/media komunikasi sejalan kepentingan dan kebutuhan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain di kalangan internasional. Dalam pengertian “melek baca tulis bahasa dan aksara”. Maka aksara-aksara yang ada di Nusantara dengan aneka ragam ciri, meskipun gaya dan jenis bentuknya nampak ada unsur inovasi, tetapi pada klimaksnya yang meramu dan menentukan unsur-unsur asing dari berbagai aliran merupakan kesepakatan cendekiawan Nusantara secara langsung menjaring, mencerna dan menyesuaikannya dengan unsur kepribadian setempat.
 
      Nyatanya pada periode sekurang-kurangnya abad VIII Masehi, di setiap wilayah di kawasan Asia Tenggara Daratan dan kepulauan/Nusantara telah berkembang bentuk aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki corak-corak khusus dan tersendiri. Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip sejumlah dokumen di Sumatra dan Jawa memakai jenis bahasa pengantar di masing-masing daerah pendukung budaya (a.l. Malayu, Jawa, Sunda dan Bali). 
 
      Batas antara gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan yang hadir kemudian sangat sulit ditentukan, karena besar kemungkinannya jenis-jenis aksara itu berkembang secara overlapping, hampir bersamaan. Mungkin pula gaya yang telah ada agak tersilih sementara oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru, namun proses peralihan dan pergantiannya sesuai perkembangan zaman seperti munculnya aksara pegon dan latin. Yang baru telah berkembang lebih meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja. Inilah bukti atas kuatnya daya cipta kepribadian budaya bangsa (local genius) yang menjadikan ciri aksara Nusantara. 
 
      Perlu diterangkan bahwa sejak awal terjadinya proses mempengaruhi di dalam beberapa hal memang ada masalah, namun luwesnya sistem fonetik bahasa-bahasa etnis Nusantara tidak menimbulkan kesulitan besar menuliskan aksara India. Ketika menuliskan atau mengalihaksarakan vokal (tanda bunyi diakritis) yang disebut pepat (tanda yang menyatakan bunyi è; é; ê; æ; ë) dan hiatus (bunyi peralihan dua monoftong yang berdampingan dan membentuk dua suku berurut tanpa jeda atau konsonan antara - sia – sya – sya; dua – duwa – dwa). Unsur-unsur bunyi tersebut benar-benar hanya dikenal di dalam kosakata bahasa-bahasa daerah di Nusantara yang tidak dikenal di dalam kosa kata bahasa ataupun pengaruh India. Ketiadaan komponen inilah yang justru menjadi ciri pembeda sangat signifikan antara aksara pengaruh India dan aksara Nusantara. 
 
      Oleh karena itu tatkala peristiwa inovasi berlangsung dan berkembang (difusi) kesulitan untuk menyesuaikan diri tidaklah terasa benar karena pihak yang dipengaruhi (Asia/Nusantara) telah memiliki dasar-dasar mengenal tanda-tanda bunyi. Kiat cendekiawan Nusantara sedapat-dapatnya tidak menuliskan pepat pada akhir suku kata pertama suatu pokok kata; konsonan permulaan suku kata tersebut dirangkap dengan konsonan permulaan dari suku kata kedua seperti terjadi pada dmakan, wdihan, si kbo, lmah, wdus, wkas, kdung pluk dan seterusnya. Namun juga harus diakui jikalau kerap terjadi, dimana sangcitralekha (penulis prasasti) tidak selalu konsekuen pada suku kata yang sulit atau yang tidak mungkin dirangkap, misalnya tanda [ĕ] pepat diganti bunyi [a] seperti suket–sukat; mangagem–mangagam; mapeken- mapekan dan seterusnya.
 
       Inovasi aksara Pallava yang ditemukan pada dokumen-dokumen prasasti memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan. Dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) dari Kerajaan Kutei (Kalimantan Timur) secara palaeografis diperkirakan sekitar 400 Masehi; dan sejumlah prasasti masa Tarumanagara (Jawa Barat) sekitar 450 Masehi. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara yang berhasil ditemukan seluruhnya digoreskan pada tujuh batu alam. Lima prasasti (Bogor: Ciaruteun, Muara Cianten, Cibungbulang; Jakarta:Tugu; Banten: Cidanghiyang) prasasti sloka berbahasa Sanskerta bermetrum Anustubh dan Sragdhara; dua lainnya bergoreskan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran. 
 
        Aksara Pallava hampir sejaman dengan periode Taruma dan Kutei, ditemukan pada prasasti-prasasti di Sumatra dengan gaya lokal memakai bahasa Malayu Kuno. Prasasti-prasasti di Sumatra tertua yang menandai periode Kerajaan Sri Vijaya ini disertai unsur pertanggalan ini mewakili gaya aksara periode abad ke VII (682-686 Masehi). Disusul prasasti-prasasti dari Mataram Kuno diantaranya Prasasti Canggal (732 Masehi), sejaman dengan Prasasti Ligor (775 Masehi) dijumpai di Semenanjung Melayu. Prasasti-prasasti yang disebut dianggap paling mewakili gaya aksara periode abad II-VIII Masehi, sekaligus yang menandai peristiwa keseragaman pemakaian aksara dengan pengaruh Dinasti Pallava India Selatan di asia Tenggara. Seiring pengaruh Pallava nampak corak-corak stabil pada aksara-aksara setiap kebudayaan dengan menampilkan corak khas aksara Asia Tenggara dengan memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil pada tampilan bentuk dan gaya goresan yang ditengarai sebagai hasil daya cipta kepribadian lokal (local genius) dengan tanda khas yang sangat khusus. Tanda yang sangat khas itu adalah kuncir (serif) dipakai sebagian besar aksara-aksara di Nusantara bagian barat. Tanda pada aksara-aksara tertentu dan menjadi ikon yang tidak dijumpai pada aksara-aksara pengaru India dan tempat manapun. Melainkan menjadi gaya aksara standar, selanjutnya populer disebut aksara Kavi atau aksara Jawa yang pada prinsipnya menjadi signifikan di Asia Tenggara. J.G.de Casparis (l975) menerangkan bahwa aksara Kavi atau aksara Jawa ini disebut standard form of early kawi mengembangkan sayap ke masa sesudah abad VIII Masehi:

          “. . . the script is functional without embellishment but has a certain grace owing to its perfect regularity and the balance achieved in correct spacing. The letter are are slighty sloping . . . the use of serif is systemized that some letters are always withot serif (thus i-, na, da, ja), some others are double-serifed (thus pa, sa, da, a- and ya; in the last case the second and the third verticals are serifed), most of remaining letters have a single serif which is liable to disappereance if an ulu is put on top. Two aksaras, ka and ta, invariably lose their serifs if they have a virama…”

        Sejumlah dokumen aksara Kavi ada yang tidak bertanggal ditemukan pada mantra-mantra suci yang digoreskan pada lembaran (tipis) emas, perak, yang biasanya ditanam dalam peripih-peripih bangunan pada tiap-tiap arah mata angin. Gaya dan jenis aksara ini menjadi acuan ke periode selanjutnya setelah melalu adaptasi lingkungan setempat dan perkembangan waktu hingga abad X Masehi. 
 
      Sejak abad XI Masehi terjadi perubahan seiring perpindahan pusat kekuasaan Mataram Kuno ke Jawa Timur (menurut tatanan gegografis kini) Oleh karena itu gaya aksara periode abad XI Masehi kerap disebutLater Kavi Script berlangsung hingga abad XII Masehi, periode peralihan Mataram Kuno –Kadiri dipengaruhi gaya Bali. Jikalau gaya aksara bulat lonjong adalah pakem Kavi Mataram Kuno Jawa Tengah, tatkala pusat politik Mataram bergeser lebih Timur berkembang varian aksara dengan gaya tegak, agak bersiku-siku, namun cirinya masih agak sederhana namun sangat bergaya dan dekoratif. Gaya aksara yang hadir karena pengaruh Airlangga (putra mahkota Bali keturunan Raja Jawa) ini selanjutnya menjadi kreativitas ragam dan gaya aksara, antara satu dan lainnya silih berganti dengan keunikan masing-masing selama masa dinasti raja-raja Kadiri. 
 
       Diantara gaya aksara-aksara dinasti Kadiri itu melanjutkan perjalanannya hingga pemerintahan dinasti Singhasari- Majapahit, serta dianggap mewakili gaya aksara periode abad XIII – XVI Masehi. Pada gaya aksara Singhasari-Majapahit, goresannya teratur dan anggun, ada yang dihiasi pahatan suluran yang sangat raya. Akibatnya tanda serif yang menjadi ciri karakter aksara Kavi tidak begitu nampak, terselimuti rayanya dekorasi yang variatif. Aksara gaya Kadiri merupakan puncak kreativitas seniman dengan hadirnya aneka variasi yang menadai fenomena kembalinya kekuatan pribumi (millenarisme). Kian ditegaskannya kekuatan lokal yang dicirikan oleh maraknya berbagai gaya aksara produk masyarakat luas yang dikatagori tradisi kecil (Little Tradition), diantara aksara produk istana yang dikatagori tradisi besar (Great Tradition). 
 
       Gejala Millenarisme mempengaruhi dan menjiwai aksara-aksara pahatan timbul, tebal dan kaku, yaitu jenis aksara Sukuh pada prasasti-prasasti di Candi Sukuh dan sejumlah prasasti pendek di Gunung Penanggungan (Jawa Timur). Juga hadir jenis aksara yang secara khas disebut gaya Aksara Paku dengan bentuk kaku, dimana komponen tiap karakter aksara nampak dipahatkan “terputus-putus”. Diantaranya pada Prasasti Pasir Jambe (Rabut Macan Petak), prasasti-prasasti di Tatar Sunda (Jawa Barat) seperti Prasasti Kawali, Prasasti Kebantenan, Prasasti Batutulis dan Prasasti Hulu Dayeuh dan diantaranya dipakai pada manuskrip Galunggung. 
 
       Variasi lain dari abad XIV-XV Masehi adalah aksara prasasti di kawasan Gunung Merbabu; ada juga yang disebut Aksara Budha atau Aksara Gunung, secara khusus dipakai dan digoreskan pada manuskrip, Merbabu-Merapi Scriptoria. Gaya aksara yang berkembang dipakai pada naskah-naskah Jawa Kuno antara abad XV-XVI Masehi hingga awal abad XVIII Masehi. Jenis aksara hampir serupa, ditemukan di kawasan Sumatra, antara lain prasasti-prasasti dari Sumatra Barat (Adityawarman), prasasti-prasasti di kawasan Lampung (Sumatra Selatan), juga di daerah Aceh dimana aksara dipakai dengan menggunakan dua bahasa (bilingual), bahasa Malayu dan bahasa Arab. Gaya aksara Sumatra Kuno dianggap bukan hasil perkembangan langsung atau bahkan terlepas dari pengaruh Jawa, tetapi lebih menampilkan kekentalan adaptasi lokal dengan pengaruh aksara Pallava. Pada saat yang sama, aksara prasasti-prasasti di daerah Lampung justru lebih menampilkan gaya paku (Prasasti Ulubelu; Prasasti Dadak/Batara Guru), dengan keunikan sentuhan Batak. Gaya aksara yang menjadi cikal-bakal aksara Lampung pada manuskrip kulit (dalung), sejak abad XVIII-XIX Masehi hingga sekarang.
 
III
       Paling menarik adalah aksara Bali terutama karena hampir selalu digoreskan pada daun Tal dan bahan logam. Beberapa prasasti pendek yang ditemukan secara khusus “prasasti mantra” digoreskan pada tanah liat, masih menampilkan aksara Prenagari atau Sidhhamtrika seiring dengan misi keagamaan Budha. Kenyataan ini melahirkan asumsi bahwa aksara Bali di masa lalu dipengaruhi Brahmi Kuno, dengan unsur kemiripan gaya aksara yang berkembang di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara Daratan. Sebelum abad XI Masehi, aksara Bali mendapat pengaruh Jawa Kuno dengan bahasa Jawa Kuno. Tetapi setelah itu di Jawa Timur diemukan satu-satunya prasasti yang erat kaitannya dengan Bali, yakni Prasasti Pucangan atau Calcutta dan sangat terkenal itu. Dikeluarkan oleh seorang pangeran berdarah Bali dan Jawa tahun 963 Saka/1041 Masehi. Namun sebagian besar prasasti-prasasti yang dijumpai di Bali pada masa lebih muda memperlihatkan unsur pengaruh Singhasari-Majapahit (XIII-XVI Masehi). Gaya aksara dengan teknik goresan sangat indah yang berkembang abad XII Masehi, Tribhangga. Gaya pahatan yang sangat indah dan terus ditampilkan manuskrip-manuskrip Bali sekarang. 
 
       Pada periode sesudah Klasik, sesudah abad XVI-XVII Masehi, di Nusantara ada aksara-aksara dengan istilah dan penamaan khusus dengan mengacu kepada latar dan budaya etnisnya. Aksara yang diakui oleh sang pemangku budaya ‘aksara asli” etnis, di Sumatra (aksara Aceh, Batak, Kerinci, Rejang, Lampung); di Jawa (aksara Jawa, Sunda); di Sulawesi (aksara Makasar dan Bugis); dan di Kalimantan; Aksara-aksara pengaruh luar yang pemakaiannya disesuaikan dengan kebutuhan etnis yang bersangkutan yakni aksara Arab. Aksara yang ketika Islam bertandang di Nusantara ini disebut Aksara Jawi, Aksara Pegon, Aksara Arab-Melayu. Ada juga yang disebut Aksara Arab “gundul” karena aksara-aksaranya tidak diberi penanda vokal atau penanda konsonan (diakritis); dan Aksara Latin yang merupakan pengaruh inovasi Eropa. 

       Aksara di Sumatra bagian utara pada umumnya membentuk sudut-sudut lancip yang secara umum mirip dengan aksara Aceh, sudut-sudut lancip tersebut kemudian agak menghilang pada aksara di Sumatra bagian selatan. Pemakaian Jawa dan aksara Sunda menunjukkan kecenderungan hasil perkembangan jaman kuno. Namun pada dasarnya aksara-aksara yang terdapat di berbagai etnis di Nusantara hampir selalu ditampilkan sesuai ‘ego’ pemakainya. 
 
       Kendati mungkin aksara Bugis dan aksara Makasar memperlihatkan adanya unsur pengaruh gaya aksara-aksara Sumatra, seperti yang digunakan pada aksara Batak bertaut penyesuaian kepada kebutuhan perlambangan fonem (induk aksara) pemangku budaya daerah bersangkutan. Demikian aksara Lampung dipakai guna melambangkan dua dialek bahasa mereka yakni dialek pesisir dan dialek pedalaman, yang di dalam beberapa hal bentuk dan gayanya tidak berbeda kecuali pada tanda vokalisasi. Sementara aksara Kerinci kerap disebut aksara rencong, penamaan sesuai bentuk dan gayanya aksara. 
 
       Perlu dicatat, aksara-aksara yang dikenal di dunia oleh para sarjana diklasifikasikan ke empat kategori: 1) Piktograph (berbentuk gambar seperti Hieroglyph Mesir, dan aksara Cina Kuno); 2) Ideograph (setiap aksara melambangkan obyek, seperti halnya aksara Cina kini); 3) kategori Silabik (melambangkan suku kata seperti aksara India, Jepang, Arab dan aksara-aksara di Nusantara); 4) Fonetik (terdiri dari fonem-fonem seperti halnya aksara Latin). 
 
       Ada asumsi berkembangnya aksara-aksara yang ada di dunia, diawali dari Piktograf, namun disesal-kan hingga kini belum ditemukan bukti yang berkenaan kepada asumsi itu. Kecuali ditengarai adanya perkembangan kategori ideografik yang menapaki silabik diwujudkan berupa sukukata. Kategori aksara ideografik agaknya tertancap sebagai ciri aksara Tiongkok kuno, dengan satu dan lain hal tidak sempat menancapkan pengaruh di Nusantara. Meski secara jelas sejarah mencatat para musafir Cina termasuk yang kerap berkunjung ke Nusantara dengan tujuan keagamaan bagi pengetahuan mereka sendiri, yakni mencatat dan menterjemahkan teks-teks agama Buda di Nusantara. Setelah selesai mengerjakannya naskah dibawa pulang kembali ke negerinya. Itu sebabnya aksara Tiongkok Kuna tidak pernah memasyarakat di Nusantara seperti aksara pengaruh India.
 
       Sekurang-kurangnya abad II Masehi dianggap tonggak ditemukannya bukti tertulis Nusantara (bagian barat) hadir aksara kategori silabik, telah memicu daya cipta ”local genius” dengan kekhasannya serta ragam variasinya dalam kancah perkembangan lokal itu, mencapai puncaknya pada abad VIII Masehi. Perkiraan batasan periode sepenuhnya didasarkan analisis dengan metode palaeografis karena sebagian besar data sumber tertulis umumnya tidak bertanggal, antara lain dituliskan pada lempeng atau lembaran kertas emas atau perak yang isinya berupa teks mantra berbahasa Sanskerta. Teks mantra untuk ditanam pada sumuran-sumuran bangunan suci (peripih). 
 
        Pada pertengahan abad VIII Masehi ditemukan beberapa teks-teks berbahasa Jawa Kuno dengan pertanggalan, dengan kekhasan gaya aksara yang cenderung agak membulat dan miring ke kanan 15°. Abad IX –X Masehi perlahan-lahan gayanya membulat lebih tambun menuju persegi sehingga pertemuan garis yang membentuk sudut-sudut pada bagian-bagian aksara tertentu nampak menjadi menonjol. Aksara yang selanjutnya mendasari gaya aksara-aksara di Jawa Timur (abad XI-Masehi) dan berbagai variasinya. Baik yang dipahatkan tipis dan halus, bahkan berpadu dengan inovasi gaya Bali sekalipun yang dipahatkan menonjol ke luar, sangat tebal dengan ukuran cukup besar acapkali raya dengan hiasan (sulur-suluran) sehingga bentuk aksaranya sulit dipahami yakni aksara Kwadrat, khusus dipakai menuliskan semboyan-semboyan tertentu, prasasti yang beraksara kwadrat lebih sering dipahatkan pada prasasti-prasasti pendek dan sangat khas pada masa Kadiri. 
 
        Gaya dasar menuju perkembangan aksara abad IX Masehi dengan penanda utama hadirnya serif (kuncir) ditemukan di bagian kepala aksara-aksara khusus aksara terbuka ke atas. Tampaknya remeh dan sepele namun kehadiran kuncir justru petunjuk penting yang secara tegas ikon aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara yang bukan milik India dan tidak pernah dipakai ataupun ditemukan pada aksara-aksara di India.Pemakaian serif (kuncir) mendominasi gaya dan jenis aksara prasasti prasasti di Sumatra, Jawa dan Bali bahkan menjadi ciri khas hingga masa Singhasari-Majapahit. Di Asia Tenggara Daratan tanda kuncir dikenal hampir serempak pada aksara-aksara yang berkembang di Asia Tengara Daratan seperti Campa, Birma, Kamboja juga Muangthai (Siam), kecuali Filipina. Maka dikatakan aksara senantiasa tidak terlepas dari landasan pengetahuan pemangku budaya suatu etnis (bangsa manusia) tapak walas.

2.2. Aksara: Karyaseni Budaya Adiluhung

       Paradigma selalu diajukan para sarjana bahwa bukti tertulis (data tekstual) menandai berlangsungnya masa sejarah, sementara itu sebagian besar bukti tertulis dijumpai di Nusantara bagian barat. Bagaimana dengan kenyataan Nusantara timur yang sangat minim ditemukan sumber tertulis, apakah hal itu harus dipersepsikan masyarakat yang tidak mengalami masa sejarah? Kenyataannya bahwa Nusantara sangat kaya bahasa daerah, tetapi tidak semua etnis memiliki atau meninggalkan bukti tertulis. 
 
      Dikenalnya ragam hias indegenous pada beberapa wilayah di kawasan Nusantara timur, antara lain “Garonto Passura” di Sulawesi. Keistimewaan daya cipta setempat yang telah sangat tua didasari kemapanan kreativitas sesuai kondisinya. Namun juga sangat complicated, dimana individu/kelompok masyarakat suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep tersendiri di dalam cara mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya. Dengan kata lain, gaya dan jenis suatu aksara di Nusantara memiliki Style yang mencerna unsur motif, unsur hubungan, dan unsur kualitas yang seluruhnya itu berakar pada inti budaya (hoe) sarat ide-ide atau gagasan pendukung budayanya. Keberadaan sesuatu yang dipahatkan atau apa yang digoreskan pada suatu bahan yang disebut naskah dengan kategori-kategori prasasti, karya(/su)sastra secara keseluruhan disebut sumber tertulis dalam kategori data tekstual. 
 
       Sejauh yang telah dibuktikan, aksara tertua di Nusantara adalah prasasti-prasasti Tarumanagara. Dicirikan bentuk pilin, pilin gandha ataupun sulur-suluran merupakan citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal di belahan dunia termasuk Nusantara. Sementara itu, sepanjang berlangsung periode Klasik, di Nusantara bagian timur tidak begitu banyak menghasilkan bukti-bukti secara tertulis apalagi pengaruh India dengan cap Indonesia Hindu atau jaman Hindu seperti diistilahkan sarjana Belanda, melainkan tetap mempertahankan kepribadian corak ”ASLI” pribumi. Corak kepribadian yang akrab sejak nenek moyangnya (periode prasejarah), corak kehidupan budaya yang merupakan kontinuitas budaya perundagian akhir masa Epipaleolitik sampai awal Neolitik. Kepribadian yang menyiratkan bahwa masyarakat Nusantara timur mengenal gambaran bunyi sebagai alat komunikasi dalam rangka melaksanakan interaksi sosial. 
 
        Nyatanya di wilayah ini terdapat lukisan cadas (rock art) (dengan pengecualian Sumatra dan Jawa) antara lain di Sulawesi Selatan, Muna, Seram, Kei kecil, Flores, Lomblem, Papua, Kalimantan timur dan barat yang secara kronologis motifnya menunjukkan runutan yang dapat ditelusuri. Lukisan gambar tersebut ada yang dipahatkan dengan disemprot sesuatu cairan berwarna (negatif), ada yang dicap (positif) dan digores (dipahat). Tema yang tampil dalam rock-art berupa simbol kognitif yang erat kaitannya kepada budaya agraris yang berpatokan kepada unsur kesuburan, lambang persatuan sesama, keselarasan dan keseimbangan terhadap alam dan Sang Cipta. 
 
        Gambar, lukisan, goresan yang dipahatkan pada cadas menampilkan citra khusus sebagai visualisasi verbal di dalam upaya berkomunikasi ke generasi sesudahnya diungkapan melalui sentuhan estetika oleh seniman zamannya. Sebab apa yang digambarkan bukan sesuatu yang ganjil terhadap hal-hal atau objek di luar gagasan masyarakat pendukung budaya, melainkan gagasan dari pengalaman empiris dituangkan ke dalam motif-motif lukisan secara langsung dimengerti dan dipahami keturunannya masa kemudian sebagai bagian kebudayaannya. Maka lukisan cadas adalah alat transformasi yang tiada berbeda peran dan fungsi bahasa tertulis atau aksara. Gambar atau lukisan dengan anekaragam motif-motifnya adalah bukti paling awal pola aksara, konsep komunikasi yang disepakati dan secara efektif mampu menjalin interaksi sesama.

        Nusantara timur yang oleh bagi sebagian pendapat dianggap “tidak mengenal budaya tulis” justru realitas yang melandasi pengetahuan budaya yang paling awal, dituangkan melalui lukisan cadas (rock art) Adanya lukisan cadas (rock art) tersebut, tentu saja disertai maksud dan tujuan tertentu, selain merupakan simbol pengetahuan empiris juga harapan kepada generasi akan datang agar merasakan makna komunikatif dirinya dan leluhurnya yang telah melampui perjalanan waktu berabad-abad. Lukisan cadas (rock art) itu adalah gambar, lukisan ataupun pahatan yang dapat dikategori piktografik seperti yang dikenal peradaban Mesir Purba dan Tiongkok kuno merupakan gambar atau lukisan konkrit melalui perkembangan waktu beralih kepada Ideografik berbeda hal dengan Nusantara yang mengambil bentuk Silabik (suku kata). 
 
        Lukisan cadas (rock art) adalah perwujudan karyaseni manusia sejak masa prasejarah yang sarat simbol dan lambang; media komunikasi budaya yang sifatnya kognitif serta membuka peluang untuk dapat dipahami. Sarat makna setara yang membuktikan kemampuan manusia protosejarah mengeksternalisasikan gagasan pengetahuan ke dalam keahlian karya seni menggores dan memahat. Maka sesungguhnya rock art adalah prototipe aksara Nusantara yang melanjutkan perkembangannya ke masa-masa kemudian sebagai kekuatan dasar atas kemampuan yang dimiliki masyarakat Nusantara dengan segenap kekayaan etnisnya. 
 
        Dikembalikan kepada definisinya, aksara yang sebenarnya pinjaman atau interferensi kata bahasa Sanskerta, yakni akshara. Didefinisikan sesuatu yang imperishable letter, words syllable, the sacred syllable, sound letter, document, epistle. Istilah yang awalnya ditujukan sebagai sebutan khusus dan hormat kepada the supreme deitya supreme creational principle, a term used equivalently to bijak. Oleh karena itu senarai dengan definisinya, maka semula aksara dicipta dan hadir dalam wacana teks, ditujukan khusus kepada segala sesuatu hal yang bersifat keagamaan (mantra-mantra suci). 
 
       Demikian juga tatkala aksara hadir sebagai teks menggunakan bahasa daerah atau wilayah, di dalam rangka menuliskan segala sesuatu yang “keramat” sesuai dengan keyakinan dan unsur kepercayaan para pemangku budayanya. Dikala itu mungkin belum ada gejala pengaruh atau inovasi luar, sehingga belum diperlukan menyerap kosa kata atau istilah bahasa lain. Ketika mobilitas sosial menyeruak dan marak mewarnai kehidupan mulai merasa perlu serapan serapan bahasa yang berada di luar kebudayaan. Unsur-unsur luar itu diadaptasi dan diserap sesuai kebutuhan budaya yang dipengaruhinya. Maka sesungguhnya aksara bukan sekedar gambaran bunyi yang berkaitan kepada konsep asasi manusia sebagai mahluk sosial, Animal Simbolicum; melainkan gift of the supreme deity kepada daya cipta manusia, karena itu pada awalnya digunakan menuliskan segala sesuatu bersifat sakral, yang imperishable letter. Lambat laun fungsinya menjadi pragmatis sebagai media pokok menjembatani komunikasi antar manusia sebagai makhluk sosial. 
 
      Dalam kaitan ini tatanan geografis Nusantara telah membuka peluang hubungan terjadinya inovasi sebagai peristiwa (proses) interaksi sosial. Dalam proses interaksi sangat wajar bilamana terjalin komunikasi saling membutuhkan antara unsur yang mempengaruhi dan unsur yang dipengaruhi. Apakah pengaruh tersebut terjadi searah atau dua arah (secara timbal balik), tergantung faktor-faktor peranan pemakainya dan peranan hubungan diantara para pemangku budaya. 
 
      Ditemukannya aneka ragam motif lukisan cadas (rock art) merupakan bertahannya konsep dasar gaya seni tersebut, yang diimposisi ulang sebagai motif dasar baik menggambar atau menggores panil-panil pada bangunan suci yang merupakan unsur dan komponen bangunan, alat atau benda-benda upacara, peralatan sehari-hari, juga motif-motif yang ditemukan pada kain (tenun ikat, batik). 
 
       Salah satu tradisi menggambar dan menggores, di dalam rangka menuangkan pengalaman empiris hingga kini ditemukan antara lain naskah yang disebut prasen masyarakat Bali. Digoreskan pada daun tal atau kain (fabric), isinya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat puja sastra. Oleh karena itu kerap dijumpai prasen bergambar Mahabharata, Ramayana dan Bharatayuddha dan cerita-cerita yang bertaut kepada ajaran-ajaran suci tentang kehidupan dunia dan akhirat atau semacam kalender yang di dalam istilah lokal disebut Palintangan. Bukti lainnya adalah corak pada kain tenun, baik tenun ikat ataupun batik seperti adanya motif flora, fauna, unsur alam yang dipersonifikasi dan diadaptasi ke bentuk modifikasi sedemikian rupa. Sebenarnya representasi wujud atas pemahaman simbol atas makna budaya di lingkungan kehidupannya.
 
IV
       Diantara motif motif flora adalah pohon dengan komponennya mengacu simbol pohon kehidupan, tree of life yang kerap dipahat sebagai relief utama bangunan-bangunan suci, seperti kalpawreksa, kalpadaru, kalpadruma, kalpavalli. Lambang kalpa ”keinginan, masa dunia, harapan”; wreksa, daru, druma atau valli dengan kesataraan arti pohon atau kayu. Maka kalpawreksa, kalpadaru, kalpadruma, kalpavalli adalah simbol bermakna pohon pengharapan, pohon masa dunia, pohon yuga (jaman), atau pohon keinginan. 
 
       Pohon adalah unsur kayu (Jawa: kekayon) dengan pusatnya gunung, maka pohon, kayu dan gunung bermakna setara yang melambangkan ke-Esa-an sebagai simbol kesatuan jagat semesta. Termasuk motif meru yang melambangkan tingkatan surgawi, karena itu di dalam pengggabaran pohon kehidupan kerap disertakan unsur fauna. Kiranya pula pada tenun ikat juga ditemukan motif-motif manusia (bagian-bagian tubuh seperti badan, genital telapak tangan, atau telapak kaki) manusia tengah memegang senjata dengan posisi berperang, binatang (lipan, babi, anoa, ikan, cumi-cumi), kuda (adakala tampil penunggang), perahu, dan lambang-lambang lainnya. 
 
        Aksara karya seni kesenian dalam berbagai pengertian, aktivitas yang terjadi oleh proses “cipta-rasa-karsa” tidak sama tetapi tidak seluruhnya berbeda dengan science dan teknologi. Cipta bidang kesenian mengandung pengertian terpadu antara kreativitas (invention), inovasi yang dipengaruhi rasa (emotion, feeling). Namun logika, daya nalar, mengimbangi emosi dari waktu ke waktu dan terkadang dalam kadar cukup tinggi; rasa, timbul karena dorongan kehendak naluri yang disebut karsa, bersifat personal (kolektif), bergantung kepada lingkungan kebudayaan (But Muchtar dan Soedarsono 1987:01; cf., I Made Bandem 1991:49). Aksara berkait kepada kesenian (sistem) dengan melibatkan bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, kepercayaan dan pengetahuan. Penampilan ekspresif kesenian inilah yang berhubungan erat dengan kebudayaan yang dinyatakan melalui goresan, pahatan gambaran-gambaran tertentu. 
 
        Suatu karya dan kesenian adalah kreativitas senantiasa berkembang selaras kreativitas zaman. Maka tiap-tiap jenis dan gaya aksara tampak dengan memiliki keunikan tersendiri merupakan representasi yang diproyeksi sesuai masa, zaman dan lingkungan, tempat dimana individu/kelompok pemangku budaya itu hidup. Di dalam mekanisme menampung dua sektor terpenting kehidupan manusia yang selalu mengalami perluasan berbagai bidang kegiatan. Sektor kebutuhan teknologi dan kebutuhan sektor ilmu pengetahuan. Maka perkembangan gaya dan bentuk aksara berkaitan kepada upaya penyesuaian terhadap perubahan lingkungan dan ilmu pengetahuan teknologi. 
 
        Semua gambar yang dipahatkan, dilukiskan dan digoreskan pada berbagai media media, dengan hiasan motif dan gaya aksara, tiada lain berpangkal kepada konsep dasar yang dikenal sejak masa proto sejarah yakni ragam hias geometris (geometrical ornament) dengan dasar ungkapan garis tidak beraturan, pola segitiga (tumpal) a.l. (anyam)-kepang, pilin-(berganda), double spiral, medallion (bulatan), meander dan swastika. Rangkaian pola inilah yang mendasari konsep pengalaman pengetahuan manusia secara kognitif tatkala mewujud bentuk aksara Piktograf –Ideograph - Silabik – Fonetik. Sebagaimana fungsi bahasa, aksara memiliki fungsi alat komunikasi dengan tingkat mutu tertentu. Dalam hal efektivitas penyampaian pesan dalam jangka waktu lebih panjang, juga kemampuan secara langsung berbicara melampaui waktu tentang aspek-aspek kebudayaan tanpa kecuali. Dalam pengertian, aksara adalah pencerminan kebudayaan setelah melalui proses penyesuaian yang lebih sempurna.

3. Pamungkas: Aksara “Tat Tvam Asi

       Aksara merupakan karya agung yang merefleksikan kualitas diri manusia sebagai animal simbolicumdalam tataran fenomenologis. Aksara bukan sekadar gambaran bunyi ke dalam wujud simbol angka, tulisan, dan gambar, juga bukan sekadar karya seni budaya. Melainkan seutuhnya penampilan tertinggi kesadaran manusia, kreativitas manusia menangkap struktur kehidupan dengan keberadaan dunia sebagai-mana dianugrahkan Yang Maha Tinggi (Gift). Representasi aksara dalam berbagai aspeknya, secara induktif manusia menyimpulkan esensi kehidupan menjadi bermakna; dan secara abstraktif (nirsadar) membedakan hal-hal yang essensial dan hal-hal yang tidak essensial. 
 
      Secara sistematik, aksara berada pada tataran filsafat (imperishable letter), manusia mengetengahkan kodrat (gift of the supreme deity) atas subyektifitasnya, yakni manusia dalam dimensi subyek (Aku). Yang mencakupi ontologik, Fungsional dan Mitik. Aku Ontologik mendasari dimensi ketika Aku mengambil jarak pada objek, meneliti dan menguasai secara instrumental–teknologik, penerapan sistematikal akal budi (daya cipta) kolektif di dalam lingkup kebudayaan. Proses pembudayaan yang berlangsung secara dialektik, yakni subyek yang merujuk kepada obyek dan pada saat yang sama berlangsung obyek merujuk kepada subyek. Aku Fungsional adalah manusia melihat dirinya secara intensioanalitas bersumber kepada subyek. Dimana Aku manusia adalah makhluk dinamika secara abstrak menangkap dan memaknai warna-warna kehidupan. Di sini yang dimaksud makna adalah persepsi atau ekspresi internal (gagasan) yang dipresentasi ke bentuk aksara dan bahasa (langue – parole). 
 
       Aksara (dan bahasa) sebagai daya cipta akal budi manusia dalam tatanan Aku Mitik. Proses dimana Aku manusia melebur (sublim) dengan kekuatan alam tiada lain adalah sikap religius dengan kekuatan transedensinya mengatasi kesadaran dirinya sebagai makhluk yang mewujud karena gift tadi (Aku adalah dirinya, Aku ada karena tiada, tiada yang ada jika tidak ada yang tiada). 
 
        Aku ontologik, Aku Fungsional, Aku Mitik merupakan proses pengejawantahan manusia dengan segenap unsur biologisnya menempatkan, menyeimbangkan dan menyatukan dirinya ke dalam tatanan unsur-unsur dan energi-energi alam semesta. Sebab manusia sebagai organisme dengan struktur yang subsisten, artinya secara biologis selalu memperbaharui diri (bermakna), dimana Aku sebagai subyek bukan sekedar tindakan melainkan subyek dari pemikiran yang refleksif yang membawa kepada pengenalan diri ”ego-cogito”. Aksara merupakan wujud pengenalan diri dengan menjalin hubungan terhadap alam, disamping kelangsungan menghayati diri sebagai hakikat ”transedensi” yang bereksistensi. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Marleau-Ponty, bahwa: 

      ”... at the root off all our experiences and all our reflections, we find then , a being which immediately recognize itself, because it is knowledge both of itself and all the things, and which knows its own existence, not by observation and as a given fact, not by inference from any idea itself, but through direct contrast with that existence...”. Aksara adalah eidos, mitik simbolik dari fungsi-fungsi somatik keberadaan dan keunggulan karyaseni budaya manusia sebagai makhluk historis Aku Dalam Budaya ” Cogito Ergo Sum” atau ”Tat Tvam Asi”.

Mading Perpustakaan 14 Februari 2011 (4)

Asal-usul Nama Sumatra

     NAMA ASLI pulau Sumatera, sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, adalah “Pulau Emas”. Istilah pulau ameh kita jumpai dalam cerita Cindur Mata dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau mereka yang besar itu. Pendeta I-tsing (634-713) dari Cina, yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut pulau Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti “negeri emas”.

      Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa.

      Para musafir Arab menyebut pulau Sumatera dengan nama Serendib (tepatnya: Suwarandib), transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Cuma entah kenapa, ada juga orang yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilanka, yang tidak pernah disebut Suwarnadwipa!

      Di kalangan bangsa Yunani purba, Pulau Sumatera sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatera, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.

      Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi tanah air kita, terutama Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.

      Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan beliau. Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).

      Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera! Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman a.s.

      Lalu dari manakah gerangan nama “Sumatera” yang kini umum digunakan baik secara nasional maupun oleh dunia internasional? Ternyata nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang pernah disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis. Memang orang Eropa seenaknya saja mengubah-ubah nama tempat. Hampir saja negara kita bernama “Hindia Timur” (East Indies), tetapi untunglah ada George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan yang menciptakan istilah Indonesia, sehingga kita-kita ini tidak menjadi orang “Indian”! (Lihat artikel penulis, “Asal-Usul Nama Indonesia”, Harian Pikiran Rakyat, Bandung, tanggal 16 Agustus 2004, yang telah dijadikan salah satu referensi dalam Wikipedia artikel “Indonesia”).

      Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.

      Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau Samatrah. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama Camatarra. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama Samatara, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama Samatra. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu Camatra, dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya Camatora. Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: Somatra. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: Samoterra, Samotra, Sumotra, bahkan Zamatra dan Zamatora.

      Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah kita: Sumatera.***


Sumber utama:
Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, deel 100, 1941.
William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang 1975.

Mading Perpustakaan 10 Februari 2011 (4)


Aksara Sunda

Dalam Sejarah
     Aksara Sunda disebut pula aksara Ngalagena. Menurut catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh orang Sunda dari abad ke -14 sampai abad ke- 18. Jejak aksara Sunda dapat dilihat pada Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis, tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan tembaga, berasal dari abad ke-15, juga memakai aksara Sunda Kuno.
 
Berikut Prasasti Kawali dengan aksara Sunda Kuno:
 
http://202.138.226.22/wanus_v2/public/images/peninggalan/artikel/PrasastiKawali.jpg
 
     Tak ada bukti yang jelas tentang awal mula aksara Sunda lahir, sejak kapan nenek moyang orang Sunda menggunakan aksara ini. Yang jelas, sebelum abad ke-14, kebanyakan prasasti dan kropak (naskah lontar) ditulis dalam aksara lain, seperti aksara Pallawa (Prasasti Tugu abad ke-4) dan aksara Jawa Kuno (Prasasti Sanghyang Tapak abad ke-11). Bahasanya pun Sansekerta dan Jawa Kuno bahkan Melayu Kuno. Baru pada abad ke-14 dan seterusnya, aksara Sunda kerap dipakai dalam media batu/prasasti dan naskah kuno.
 
     Sama seperti naskah-naskah kuno di Jawa, yang menjadi media naskah kuno Sunda adalah daun (ron) palem tal (Borassus flabellifer)—di sinilah lahir istilah rontal atau lontar—atau juga daun palem nipah (Nipa fruticans), di mana masing-masing daunnya dihubungkan dengan seutas tali, bisa seutas di tengah-tengah daun atau dua utas di sisi kanan dan kiri daun. Penulisan dilakukan dengan menorehkan peso pangot, sebuah pisau khusus, pada permukaan daun, atau menorehkan tinta melalui pena. Tintanya dari jelaga, penanya dari lidi enau atau bambu. Biasanya peso pangot untuk huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena untuk huruf-huruf bundar.
 
     Naskah-naskah kuno Sunda yang memakai aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di antaranya Carita Parahyangan (dikenal dengan nama register Kropak 406) yang ditulis pada abad ke-16. Ada hal yang menarik dalam Carita Parahyangan ini, di mana di dalamnya terdapat dua kata Arab, yaitudunya dan niat. Ini menandakan bahwa persebaran kosa kata Arab, dengan Islamnya, telah merasuk pula ke dalam alam bawah sadar penulis carita tersebut. Begitu pula naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma yang ditulis pada masa yang tak jauh beda, yang keduanya mengisahkan perjalanan spiritual sang tokoh dalam menghadapi kematian, ketika raga wadag (tubuh) meninggalkan alam fana, yang dibungkus dalam sebuah sistem religi campuran antara Hindu, Buddha, dengan kepercayaan Sunda asli. Judul yang lain adalah Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian (disebut pula Kropak 603), sebuah naskah tentang keagamaan dan kemasyarakatan yang ditulis pada 1518 M. Ada pula naskah Amanat Galunggung (disebut pula Kropak 632 atau Naskah Ciburuy atau Naskah MSA) yang naskahnya baru diketemukan 6 lembar, yang membahas mengenai ajaran moral dan etika Sunda. Usia naskah ini ditenggarai lebih tua dari Carita Parahyangan; hal ini terbukti dari ejaannya, seperti kwalwatgwarenganwam, dan hamwa (dalam Carita Parahyangan dieja: kolotgorenganom, dan hamo).  
 
Berikut naskah Sewaka Darma.
http://202.138.226.22/wanus_v2/public/images/peninggalan/artikel/sewaka%20darma.jpg
 
     Naskah-naskah keagamaan tersebut biasa ditulis di sebuah kabuyutan atau mandala, yakni pusat keagamaan orang Sunda yang biasanya terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat intelektual. Gunung Galunggung, Kumbang, Ciburuy, dan Jayagiri merupakan contoh dari kabuyutantersebut. Kini peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.
 
     Setelah islamisasi, keberadaan aksara Sunda makin tergeser. Lambat-laun, aksara Arab-lah yang mendominasi dunia tulis menulis, yang dikenal dengan huruf pegon. Otomatis, para pujangga dan penulis tak lagi menggunakan aksara Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf Arab dalam naskah Sajarah Banten yang disusun dalam tembang macapat pada tahun 1662-1663, di mana Kesultanan Banten baru saja seabad berdiri. Naskah-naskah lain yang memakai huruf pegon adalah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis pada abad ke-18, sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa.
 
     Pemakaian aksara Sunda makin terkikis setelah aksara latin diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa kolonialisasi pada abad ke-17 hingga seterusnya. Tak hanya itu, penguasaan Mataram Sultan Agung atas wilayah-wilayah Sunda pada abad yang sama mengakibatkan sastra-sastra Sunda lahir dengan memakai aksara Jawa atau Jawa-Sunda (carakan), bukan aksara Sunda. Contoh naskah Sunda yang ditulis menggunaka bahasa dan aksara carakan adalah Babad Pakuan atau Babad Pajajaran yang ditulis pada 1816, di mana terdapat kisah Guru Gantangan, pada masa pemerintahan Pangeran Kornel (Aria Kusuma Dinata), Bupati Sumedang. Isi babad ini menggambarkan pola pikir masyarakat Sunda atas kosmologi dan hubungannya antara manusia sempurna dengan mandala kekuasaan.
 
Sistem Aksara Sunda
     Aksara Sunda berjumlah 32 buah, terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 23 aksara ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga, ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la, wa-sa-ha, fa-va-qa-xa-za). Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan aksara-aksara baru, yang dipakai untuk mengonversi bunyi aksara Latin. Secara grafis, aksara Sunda berbentuk persegi dengan ketajaman yang mencolok, hanya sebagian yang berbentuk bundar.
 
     Aksara swara adalah tulisan yang melambangkan bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan sebagai sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Berikut tabel aksara swara Sunda:
http://202.138.226.22/wanus_v2/public/images/peninggalan/artikel/aksara%20swara%20Sunda.svg.jpg
 
     Sedangkan aksara ngalagena adalah tulisan yang secara silabis dianggap dapat melambangkan bunyi fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun sukukata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Setiap konsonan diberi tanda pamaeh agar bunyi ngalagena-nya mati. Dengan begitu,aksara Sunda ini bersifat silabik, di mana tulisannya dapat mewakili sebuah kata dan sukukata. Berikut tabel aksara ngalagena Sunda:
 
http://202.138.226.22/wanus_v2/public/images/peninggalan/artikel/aksara%20konsonan%20Sunda.svg.jpg
 
      Ada pula para penanda vokal dalam aksara Sunda, yakni: panghulu (di atas), panyuku (di bawah),pemepet (di atas), panolong (di kanan), peneleng (di kiri), dan paneuleung (di atas). Berikut penanda vokal dalam sistem aksara Sunda:
 
http://202.138.226.22/wanus_v2/public/images/peninggalan/artikel/penanda%20vokal.JPG 
 
     Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran, yakni pengecek (akhiran –ng), pangwisad(akhiran –h), dan panglayar (akhiran –r). Ada pula fonem sisipan yang disimpan di tengah-tenngah kata, yakni pamingkal (sisipan –y-), panyakra (sisipan –r-), dan panyiku (sisipan -l-). Berikut tabel variasi fonem sisipan dan akhiran beserta tanda pamaeh dalam aksara Sunda.
 
http://202.138.226.22/wanus_v2/public/images/peninggalan/artikel/fariasi%20akhiran.JPG
 
 
Kepustakaan
Danasasmita, Saleh. 2006. “Ya Nu Nyusuk Na Pakwan”, dalam Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.
McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10 (Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Sumardjo, Jakob. 2004. Hermeneutika Sunda: Simbol-simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan. Bandung: Kelir.
__________ (2009) Aksara Sunda Kuna, [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Sunda_Kuna, februari 2010
 

Mading Perpustakaan 10 Februari 2011 (3)

Ajaran Sunda Berdasarkan Pengalaman 
Rahiyang Wastu Kancana


Ajaran Sunda mah teu benten wae sareng filsafat kehidupan ti rerehan Timur umumna (red: Ajaran Sunda tidak berbeda dengan filsafat kehidupan dari belahan dunia Timur lain umumnya). Filsafat itu sendiri secara garis besar menggambarkan seseorang yang bertanya, berjalan mengenali dirinya dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, filsafat berkembang dan tumbuh sejalan dan sesuai dengan lingkup kebudayaan dan lingkungan di mana seseorang itu berada. Dalam pengertian seluas-luasnya, karena sifat filsafat adalah neuleuman dugi ka jeroerona (red: menyelami sampai ke dalam-dalamnya) layaknya seseorang mengupas buah mangga, mulai mengupas kulitnya, lalu dagingnya hingga ke biji yang kerap disebut benih awal, sehingga kerap diterapkan menjadi ajaran yang erat pertaliannya kepada kepercayaan, keyakinan—yang oleh penganutnya kemudian disebut ageman atau agama.

Di Tatar Sunda, salah satu ajaran filsafat keagamaan tersebut diwujudkan secara nyata pada sejumlah artefak kontekstual (tidak bertulisan) dan artefak tekstual (bertulisan) yaitu di Situs Astanagede di Kawali (Ciamis). Isinya berupa pengalaman keagamaan Rahiyang Wastu Kancana, bertapa Bhaga, hingga mencapai kesempurnaan bersatu dengan Sang Cipta (Hiyang).

Pada praktiknya, Situs Kawali merupakan satu-satunya situs yang merepresentasikan ajaran Sunda. Hal ini terlihat dari :

1) bentuk bangunannya yang berpola teras berundak dengan punden,
2) dibentuk dari batu yang alami (mengimposisi),
3) menempati suatu bukit/pasir dengan merujuk ke Gunung Sawal.

Variabel tersebut jelas dan tegas menyatakan bahwa Situs Kawali memang situs pusat upacara keagamaan yang disebut Kabuyutan dengan pemujaan pokok kepada leluhur (buyut) yang diagungkan dengan istilah Hiyang.

Inti pemikiran ajaran tersebut digoreskan pada enam batu berbentuk alami dan secara garis besar tercermin dalam kalimat: "... Pakena keureuta bener, pakna gawe rahhayu, pakeun heubeul jaya dina buana, pakeun nanjeur na juritan ...."
Inti dari menjalankan benar tersebut diungkapkan dalam kalimat "bati peureu tinggal nu atis tina rasa" tergores nyata dalam prasasti (Prasasti Kawali I, II, dan III; lihat koleksi foto di Tangtung Sunda).

Betapa singkat memang kalimat tersebut tetapi mengandung makna teramat dalam: sebagai himbauan seorang raja agung yang paling saleh di antara raja-raja lain pada masanya untuk berperilaku benar yang direalisasikan dengan menjaga lingkungan, agar tidak dirusak/dieksploitasi (bhaga neker bhaga angger bhaga nincak bhaga rempag), juga tidak berkata sembarangan (haywa dicawuh-cawuh), dan memusnahkan warisan leluhur (haywa diponah-ponah) sebab perilaku teersebut bukan hanya merugikan sesama dan lingkungan tetapi juga diri sendiri (malindes ka diri sorangan - cilaka ku polah sorangan; ulah botoh bisi kakereh). Karena manusia pada dasarnya berada dalam harmoni dengan alam dan seluruh tata dunia ini (buana) yang ada, yang berarti di sana terkandung tata juga (praktik ajaran telah saya posting di discussion board TangtungSunda, berjudul “Situs KAWALI”, silakan baca).

Ajaran Rahiyang Wastu sangat bertumpu pada harmoni dan kesatuan harmoni, yaitu masuk ke dalam realitas itu sendiri, menjadi satu dengan realitas dan secara mendalam atau dari dalam seseorang menerima realitas itu apa adanya. Ini tercermin dalam karakter artefak-artefak Kawali dengan segenap aspek yang begitu mengimposisi kepada alam, sangat natural, dengan tanoa mengeksploitasi apa pun yang diciptakan di dalam lingkungan alam dan tempat di mana seseorang berkebudayaan.
Situs Kawali menyiratkan ajaran tetapi dalam bentuk penawaran pasif—diam dan seakan tidak kentara—begitu pun cara menghayatinya, karena inti persoalan seseorang manusia di dalam upaya merealisasikan harmoni tersebut bertakhta di dalam hati masing-masing.

“Pakena keureuta bener pakena gawe rahhayu pakeun heubeul jaya dina buana pakeun nanjeur na juritan” menyiratkan ajaran untuk mengontrol diri bahwa setiap tindakan di dalam hidup manusia selalu mengandug atau tidak terlepas dari akibat, dan akibat inilah yang menentukan lingkaran berputar menuju kebahagiaan. Sebaliknya, duka dan sengsara adalah sumber ketidakbahagiaan manusia, maka seseorag harus memperhitungkan langkah-langkahnya sebaik-baiknya (ulah botoh bisi kakereh).

Semakin seseorang mampu menguasai sumber kesengsaraan (berupa keinginan dan nafsu yang bertumpun pada pancaindriya dan Sembilan lubang pelepasannya [digoreskan pada Batu Tapak Anggana]), maka realisasinya adalah kesadaran tinggi dengan masuk ke dalam diri kita sendiri (wanoh ka diri, wanoh kanu ngajadikeun tur ngalahirkeun diri, yakni indung/bhaga).

Kesadaran dan mengontrol diri inilah sumber keselamatan (pakena gawe rahhayu) yang harus dilakukan selama hidup, sebab seorang manusia di dunia selalu bergerak maju dan tidak ditentukan oleh patokan-patokan tertentu, melainkan terus maju dan bergerak hingga mengenal pengalaman-pengalaman yang sejati pada dirinya (bati peureu tinggal nu atis tina rasa).

Mengenal jati diri melalui akal budi dan intuisi yang lahir dan berkembang dalam proses berjuang (nanjeur na juritan), hadir berhadapan dengan berbagai benda materi, lingkungan masyarakat, alam dan diri (Sanghiyang Lingga Bingba= yang mewujud). Dengan demikian, akal budi dan intuisi (Batu Tapak Anggana) merupakan kunci yang mampu menguak semua ruang-ruang tertutup. Artinya, akal budi harus seimbang dengan ketajaman intuisi dan dipersatukan dalam takhta hati. Karena itu, proses belajar dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah menjadi bijaksana, menghayati kehidupan dengan lebih baik karena hidup di dunia adalah seni yang sulit serta membutuhkan refleksi sepanjang hidup (batu pangeunteungan).

Manusia dalam keberadaannya adalah bagian dari alam semesta (pancaindriya) yang secara bersama-sama membentuk kesemestaan sebab manusia dan semesta berasal dari Dzat yang sama (pancabudhi indriya dan panca karma indriya), Yang Satu, di samping menyadari keunikan keberadaanya di tengah-tengah alam semesta ini, juga memahami dirinya sebagai perwujudan di alam semesta (Sang Hiyang Lingga Hiyang), yakni swayambhuwa - sambhawa, ambu - Ibu.

Proses perilaku rasa cinta dan harmoni yang berakar kepada alam tempatnya berpijak (ambu rarang) , alam tempatnya berperilaku (ambu tengah), alam tempatnya berpulang (ambu ruhur) disebut mayang sagara pamulangan.

Harmoni - kesadaran - kontrol diri yang menjadi patokan ajarannya adalah sederhana, tenang, lembut, sebab kekuatan sejati bagi Rahiyang Wastu adalah kelembutan di tengah kesemestaan dengan penekanan sikap tidak memaksa melainkan menghimbau, berangkat dari kesadaran. Hidup ini maya dan kesementaraan layaknya buih dan gelembung air yang segera akan lenyap bersama kotoran lalu terendapkan ke dasar (layaknya lanau/peureu di dasar danau) sehingga menampilkan kebeningan yang hening di permukaan "bati peureu tinggal nu atis tina rasa".

Kesadaran yang membuka peluang memasuki kebenaran, direalisasikan melalui laku tapa sehari-hari itu, juga bergantung kepada kemampuan, kebutuhan, dan kapasitas seseorang. Sedangkan laku tapa yang dilakukan Rahiyang Wastu sangat khusus, yakni hingga mencapai kebenaran tertinggi menuju apa yang disebut Mukta atau Moksa yang dapat dilakukan dengan melalui 10 tahapan (La Kasagna – Mala Kasada) dalam keterbatasan, yakni:

1) tahapan ketika seseorang masih terpusat pada empirik dan menikmatinya;
2) seseorang tidak lagi berfikir tentang empirik melainkan masuk ke dalam pengalaman tersebut;
3) antusias terhadap pengalaman itu hilang;
4) rasa nikmat dan kenyamanan hilang karena konsentrasi murni dan absolut, meski pun mungkin objek konsentrasi masih menjadi pusat mengatasi keterbatasan;
5) mulai melihat ruang-ruang tak terbatas melainkan masih sebatas bayangan;
6) kesadaran yang tak terbatas;
7) kekosongan;
8) kondisi yang tanpa persepsi maupun non persepsi dengan kedamaian dan ketenangan sebagai faktor dominan yang menyertai kesadaran;
9) berhentinya persepsi (fungsi kognitif) dan fungsi efektif;
10) mencapai kesempurnaan mutlak.

Semua tahapan ini tergambarkan jelas dalam karya sastra keagamaan Sewa Ka Darma, yang menguraikan tahapan ajaran dengan mengutamakan tapa mencakup moralitas dan konsentrasi yang diarahkan ke tingkat lebih tiggi yaitu kebijakan transendental. Semua laku tapa adalah proses perenungan segala gejala yang teramati dengan tujuan akhir: membawa kesadaran masuk ke dalam hakikat segala sesuatu hingga menemukan kebenaran sejati: Sang Sadhujati.

Kesadaran "bukan sesuatu" adalah aliran unit kesadaran individual yang reflex, layaknya megupas sesuatu hingga ke benihnya. Pada tataran ini, manusia adalah pusat yang disetarakan kepada jangka ning jagat, jangka alam semesta, dan peredaran seluru alam semesta . Maka tapa adalah upaya bagaimana manusia memapankan dirinya secara terus menerus, dengan memahami kedudukan saya, mengerti tugas saya, dan fungsi saya di dunia dan dalam kehidupan yang tiga (Tri Tangtu).

Karena itu, titik tolak ajaran Sunda Wiwitan - Rahiyang Wasti adalah Sang Kala- alam semesta. Maka ajaran tersebut juga berarti pengalaman hidup adalah juga mengalami akan hal-hal yang kelihatan dan hal-hal yang tidak kelihatan. Manusia adalah jiwa alam, demikian juga alam adalah Jiwa manusia yang dapat menyatu dalam tataran kebenaran tertinggi: Mukta – Nirwana, yakni bersatu dengan Hiyangnya.
Letak Kabuyutan Kawali

Situs Kawali terletak pada lahan geologis paling tua, yaitu Gunung Sawal, yang di masa lalu merupakan kompleks gunung api tua yang tdak aktif lagi. Gunung ini meliputi: Gunung Manglayang, Gunung Sinambat, Gunung Kawah, Gunung Kawali beserta dengan kandera-kalderanya. Situs Kawali sendiri menempati bekas kaldera Gunung Kawali itu sendiri yang terletak di kaki timur Gunung Sawal.

Kompleks Gunung Sawal merupakan hulu Ci Muntur yang alirannnya mengalir dari barat ke utara menuju hilir dan bertemu Ci Tanduy di situs Patimuan (Karangkamulyan), selanjutnya mengalir ke timur dan bermuara di Teluk Pangandaran (Sagara Anakan). Jadi, Situs (Kabuyutan) Kawali menempati pertemuan sungai-sungai besar yang berasal dari hulu (girang). Pemilihan lahan yang tidak acak melainkan berlandaskan kepada keyakinan Sunda (bukan Hindu, bukan Buddha).

Situs Kawali secara administratif terletak di Kampung Indrayasa Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dengan ketinggian pada permukaan laut (dpl) 375 m. Situs ini diapit oleh dua sungai yakni Ci Kadongdong di utara dan Ci bulan di selatan yang selanjutnya alirannya bertemu di tenggara (Selacai).

Di Situs Kawali terdapat sejumlah kepurbakalaan (warisan budaya) berupa kontekstual (tanpa tulisan) dan tekstual (mengandung tulisan), sebagai berikut:
1. situs yang merupakan bangunan teras berundak terdiri dari lima teras dengan elevasi tipis sekitar 5 derajat  orientasi ke arah tenggara – timur
2. pada teras pertama (tertiggi) terdapat punden (tersuci) yang dihubungkan oleh semacam paved-stone menuju ke teras dua
3. pada teras dua terdapat batu jungjung (stoneseat) = batu pelinggih = takhta kedatangan, yakni Prasasti Kawali I, Prasasti Kawali II, Prasasti Kawali III, sejumlah menhir (batu tegak/Batu Tapak)
4. pada teras tiga terdapat 5 buah menhir, Prasasti V (Batu Panyandungan), Prasasti VI (Baru Panyandaan), Batu Pangeunteungan.

Prasasti-Prasasti Kawali

1. Prasasti Kawali I
a.nihan tapak walas
nu siya mulia tapa
bagja prebu raja wastu
mangadeg di kuta kawa
li nu mahayu na kadatuan
surawisesa nu marigi sa
kuliling dayeuh nu najur sakala
desa aya ma nu pandeuri pakena
gawe rahhayu pakeun heubeul ja
ya dina buana
b.haywa diponah ponah
haywa dicawuh cawuh
bhaga neker bhaga angger
bhaga nincak bhaga rempag

2. Prasasti Kawali II
aya ma
nu ngeusi bha
ga kawal ba
ni (/bari) pakena keu
reuta bener
pakeun nanjeur
na juritan


3. Prasasti Kawali III
bani (bati) peureu ti
nggal nu atis
tina rasa aya ma nu
neusi dayeuh iweu
ulah botoh
bisi kokoro

4. Prasasti IV (Batu Tapak)
anggana

5. Prasasti V (Batu Panyandungan)
sanhiyang li-
ngga hiyang

6. Prasasti VI (Batu Panyandaan)
sanghiyang li
ngga bingba

Isi Pesan Warisan Budaya Kabuyutan Kawali

Secara keseluruhan (berdasarkan isi prasasti-prasastinya) menerangkan bahwa situs Kawali merupakan tapak tilas Yang Mulia Prabu Raja Wastu, raja yang pernah bertahta di Galuh dengan pusatnya di Kawali dengan kadatuan (istana) bernama Surawisesa. Raja yang sangat AGUNG ini menitipkan kepada generasi sesudah beliau (nu pandeuri/ yang akan datang) agar situs Kawali ini dijaga dan dipelihara, jangan dirusak dan diperlakukan semena-mena baik dalam ucapan maupun perbuatan karena tempat ini merupakan Tapaa Walas Tapa beliau sehingga bersatu (Panyandungan) dengan Hiyang. Kepada yang berkehendak (tanpa paksaan) mengikut pengalaman yang ditempuh oleh Prabu Raja Wastu yakni pengalaman keagamaan dengan selalu bersandar pada leluhur (Batu Panyandaan) hendaknya menjaga perilaku denngan selalu berpijak dan melaksanakan jalan benar (pakena keureuta bener) dan keselamatan serta kedamaian bagi sesama (pakena gawe rahhayu). Perilaku menyelamatkan segala cobaan kehidupan (nanjeur na juritan) agar kebenaran selalu menang di dunia. Bagaimana cara agar kebenaran menang di dunia? Ini tersirat dalam Batu Tapak yang bergoreskan prasasti pendek berbunyi "anggana".

Batu Tapak oleh sebagian besar penduduk disebut Kolenjer atau Kalender karena sepintas mirip Palintangan (seperti kalender tradisional Jawa, Bali, maupun etnis-etnis tradiosional lainnya di Nusantara).

Apa sebenarnya Batu Tapak Anggana itu? Batu Tapak bentuknya sangat alami, seperti halnya prasasti-prasasti Kawali lainnya, pada batu ini bergoreskan 45 buah kotak yang terbagi 5 dan 9; di sebelah kiri gambar kotak terdapat sebaris kalimat "anggana" dan di bagian luar kanan gambar kotak dipahatkan sepasang telapak kaki dan cap tangan kiri. Batu Tapak Anggana merupakan semacam Yantra (alat untuk konsentrasi pada saat manekung) dengan konsep asli ajaran Sunda. Anggana itu sendiri artinya tubuh; maka kotak 45 buah tersebut melambangkan 5 (panca) indriya dengan 9 (lubang pelepasan) yang di dalam bahasa Sunda disebut cungap. Oleh karena itu, di dalam karya sastra keagamaan Sewa Ka Darma, manusia dan tubuh manusia (anggana) tiada lain merupakan wujud yang sangat kompleks layaknya kota dengan 9 pertahanan dan 9 gerbang masuk "Kota dengan 9 Gerbang". Namun artefak-artfak di Situs Kawali lebih merupakan lambang yang bersifat kognitif (tersirat) yang baru dapat dipahami secara mendalam (verstehen) jika dibandingkan dengan sumber dan data lainnya yang sezaman.

Ajaran Sunda yang tersurat di dalam Karyasastra Sewa Ka Darma (berbunyi “Nanu Namas Haba Jaja”) merupakan buku yang berumur sezaman dengan Kawali menerangkan bahwa manusia memiliki kodrat hidup di dunia sebagai makhluk ganda yang terdiri dari badan kasar dan badan halus. Karena itu, selama hidupnya manusia bergantung kepada dua badannya itu. Namun manusia pun memiliki intelektualitas atas dasar kemampuan dengan kadar yang berbeda-beda; demikian pula di dalam upaya untuk mencapai kesatuan dengan Sang Cipta diberi jalan tertentu sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri.

Selain itu, manusia juga memilki naluri pengenal dan akal, perasaan dan rasa keakuan (ego) yang seluruhnya diperoleh dan diwujudka ke dalam indriya (keinginan) disebut dasa indriya. Dasa indriya ini terbagi menjadi pancabudhi indriya meliputi pendengar, perasa, penglihat, pengecap dan pencium; dan pancakarma indriya yang meliputi penggerak mulut penggerak tangan penggerak kaki penggerak pelepasan dan penggerak bhaga (genital) dan purusa (laki-laki).

Batu Tapak Anggana mengambil ringkasnya (reduksi) seperti yang diterangkan Sewa Ka Darma, yakni bayusasanga, yang merujuk kepada pengertian manusia “kota dengan 9 gerbang” itu tadi. Kotak berjumlah lima disusun vertikal merupakan reduksi dasa indriya (panca budhi dan panca karma indriya). Kotak berjumlah sembilan disusun horizontal merupakan lambang lubang pelepasan dari tiap-tiap indriya; sepasang telapak kaki dan sebuah telapak tangan kiri mau tak mau mengharuskan seseorang berposisi cingogo-nagog yang merupakan lambang seseorang tatkala tengah neker.

Tangan kanan sengaja tidak dipahatkan karena secara nalar dipergunakan untuk mempelajari (sambil merujuk) gambar pahatan yang tampak dihadapannya sebagai proses tatkala seseorang memahami diri dan dirinya. Tujuan dan makna ajaran yang tergambar pada Batu Tapak Anggana tersiratkan dalam Prasasti Kawali I, II, dan terutama III yakni "bani peureu tinggal nu atis tina rasa … aya ma nu ngeusi iwe ... ulah botoh bisi kokoro".

Perilaku berpola tapa guna menghilangkan segala kotoran (noda, cela, onak, duri, dan nista) yang melekat pada fisik dan jiwa, layaknya melepas karat pada besi atau mengendapkan lumpur (lanau) di dasar sungai/ danau sehingga air yang emula keruh (rumeuk/butek) perlahan-lahan bening dan nampak ke permukaan, kian lama kian jernih dan bening tetapi juga tanpa rasa atau tawar, melambangkan Jiwa yang bersih sehingga ringan dan enteng menuju hakikat kehidupan yang sejati.

Inilah makna inti ajaran yang tersirat di Situs Kawali yang merupakan jejak laku tapa bhaga Prabu Raja Wastu (nihan tapak wakas ...) hingga bersatu takhta dengan junjungannya yang dilambangkan Batu Jungjung. Persatuan dengan unsur tertinggi yang dipuja (Hiyang) adalah menhir Batu Panyandungan yang bertuliskan “sanghiyang lingga hiyang”.

Hiyang adalah unsur yang tanpa wujud "supranatural“, yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang melainkan melalui rasa yang telah “atis tina rasa”.
Bagaimana cara menempuh pengalaman Rahiyang Wastu?
Pengalaman menerapkan kebenaran "pakena keureuta bener" dan kedamaian "pakena gawe rahhayu". Denan segala kesadarannya Rahiyang Wastu menggambarkannya di Kawali bahwa sebelum manusia merenungkan dirinya (pada Batu Tapak Anggana) adalah sesuatu yang terbatas (jajanten ninggang wates). Maka dari itu, untuk menuju sesuatu “Yang Tak Terbatas” dimulai dengan yang terbatas yang lambat-laun pengabdiannya menuju ke tingkat yang lebih tinggi secara bertahap (Yana).Kuncinya adalah “konsentrasi utuh” terhadap segala sesuatu yang ada pada dirinya yang terbatas itu.

Di alam, untuk mengonsentrasikan pikiran terhadap sesuatu yang terbatas diperlukan suatu objek yang dapat ditangkap karena Hiyang tidak terbatas sifatnya sebagai “Sukma Yang Abstrak”; maka itu ia sarana kongkrit untuk bertolak menuju ke “Yang Tanpa Wujud”. “Wujud Tertinggi” itu dilambangkan dengan bentuk yang sesuai kebutuhan, sesuai kepercayaan dan kemampuan manusianya.

Agar “Yang Tiada Wujud” itu dapat dibayangkan maka dibuat lambang batu tegak (menhir) yang lain, yakni Batu Panyandaan "sanghiyang lingga bingba", yakni Hiyang di dalam wujudnya dina buana. Baik Batu Panyandaan maupun Batu Panyandungan dihadirkan bukan untuk disembah bendanya melainkan untuk membantu pikiran agar terkonsentrasi pada Makna Yang Tertinggi yang abstrak - universal - dan mengatasi segalnya (totalitas).

Batu Tapak Anggana inilah yang merupakan inti pemahaman atas perilaku manusia di dunia. Manusia yang mengkognisi kepada alamnya sesuai hakikat ajaran Sunda senantiasa menekankan orisinalitas manusia sebagai makhluk hidup yang tereduksi dan terintegrasi di dalam alam dan akhirnya kembali menyatu kepada alam "Mayang Sagara Pamulangan".

Batu Tapak Anggana juga adalah yang sebenar-benarnya merupakan “pola denah Situs Kawali” itu sebagai Yantra dan Brahmasthana; maka dapat dikatakan bahwa teras (meski pun nampak sangat tipis perbedaannya jika tidak dilihat benar-benar) Situs Kawali berjumlah lima teras. Teras ke 4 dan ke 5 yang terletak sesudah teras ke-3 ... “hilang lenyap terjahamankan Pagar Keliling buatan Pemda ...” karena ketika dilakukan pemugaran tidak berpatokan pada konsep ajaran Sunda.

Seluruh teras dengan pola konsentris (5 teras) yang sangat tipis jarak dan elevasinya memang disengaja melambangkan betapa tipis sebenarnya batas antara raga kasar jeung raga badag (antara manusia dengan penciptanya), antara jagat gede dengan jagat kecil, antara kebenaran dan kejahatan, antara ego dan diri, ibarat “sagorolong jeruk nipis " sehingga seakan hampir tiada batas. Namun, sekaligus ketipisan tersebut betapa sukarnya dilalui karena kuncinya harus mengerti mengalahkan diri hingga wanoh ka diri.

Ku ngajaga cungap-cungap panca indriya, mempertapakan bhumi tempat kita berbakti kepada hidup yang menghidupi, yang oleh orang Kanekes disebut “ngabaratakeun nusa telupuluh telu bagawan sawidak lima.”

Bhaga adalah genial wanita = rahim emas (hiranya garbha) = simbol bumi = pertiwi. Bumi dipersamakan sebagai Sang Dewi Ibu = Pohaci Sang Hiyang Asri = Dewi Kesuburan bagi seluruh umat di permukaan bumi, bukan sekadar bumi yang kita pijak melainkan bumi bawah bumi tengah dan bumi atas. Bumi itu adalah bumi bawah = cakra sasangggana manusia, di mana manusia dipangku di atasnya; bumi tengah di mana kita menjalani hidup = rawayan; dan bumi atas di mana inti sari manusia berpulang kelak = kalanggengan.

Sumber : Tulisan hasil karya Richadiana Kartakusuma, disadur dari forum Tangtung Sundayana. tulisan merupakan makalah pada KIBS (KONGRES INTERNASIONAL BUDAYA SUNDA) ATAS KERJASAMA YAYASAN RANCAGE DAN TOYOTA FOUNDATION

Anggota


Perpustakaan SMA Negeri 3 Cimahi. Diberdayakan oleh Blogger.