Sundaland Pusat Peradaban Dunia
TESIS Profesor Arysios Santos, geolog dan fisikawan nuklir asal Brasil, mendapat sambutan luas, baik pro maupun kontra dari kalangan sejarawan dan arkeolog.
Bagi yang kontra tesis dalam buku Santos yang berjudul "Atlantis - The Lost Continent Finally Found (The Denitive Localization of Plato Civilization), menjungkirbalikkan paradigma sejarah dunia yang sudah mapan.
Bagaimana tidak, ia menyebutkan Indonesia sebagai pusat peradaban dunia pertama sebelum munculnya kebudayaan Romawi dan Yunani.
Hal itu bisa dilihat dari kebudayaan maritim yang dimiliki Nusantara.
Sejarawan Barat tidak akan rela jika Sundaland--wilayah dimaksud dalam buku Prof Santos--yang sekarang menjadi wilayah Indonesia sebagai awal pusat kebudayaan dunia, ujar Radhar Panca Dahana (budayawan), dalam sebuah diskusi di Jakarta, pekan lalu.
Hadir dalam panel diskusi tersebut di antaranya Agus Aris Munandar (arkeolog) Agung Bimo Sutejo (pene- liti situs) Oki Oktariandi (sejarawan), Jaleswari Pramodharwardani (pe- neliti dari LIPI) dan ES Ito (novelis) yang juga mencoba menelaah buku yang disusun berdasarkan riset selama 30 tahun tersebut.
Santos menyebutkan, peradaban di Indonesia pada masa itu sudah maju, meliputi ilmu pengetahuan dan penemuan besar manusia. Dicontohkan antara lain, budaya bercocok tanam, bahasa, metalurgi, astronomi, seni, dan lain-lain.
Hasil peradaban maju lainnya, seperti kapal laut, arsitektur di Yunani, Mesir, Maya, Azte, Inca dan lainnya, yang menurut Prof Santos tak lain dibangun oleh bangsa Indonesia yang melakukan migrasi lewat laut, setelah Sundaland hancur oleh bencana meletusnya Gunung Krakatau 11.600 tahun silam. Pada masa itu merupakan letusan Gunung Krakatau yang pertama.
Sebagai karya ilmiah tentu saja tesis itu mendapat sanggahan dari ilmuwan lainnya yang telanjur memercayai pusat kebudayaan manusia modern pertama berasal dari wilayah Yunani dan Romawi (Continental).
"Kita pun tersentak, sebab penelitian bertahun-tahun itu bermuara pada kesimpulan bahwa benua (Atlantis) yang hilang itu tenggelam di wilayah Nusantara, hingga menyisakan puncak-puncak yang membentuk pulau-pulau dalam sabuk gunung berapi," kata ES Ito.
Terlepas dari pro dan kontra, konstruksi sejarah Prof Santos di forum tersebut diharapkan bisa membuang inferioritas bangsa Indonesia yang sebenarnya memiliki warisan nilai sejarah yang tinggi.
Para ahli sejarah sepakat bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa maritim. Penilaian itu memang tidak terbantahkan bila melihat bukti-bukti sejarah yang ada.
Namun sayang, seperti dikemukakan Radhar Panca Dahana, jejak itu kini redup seiring dengan tumbuhnya sikap yang dipertontonkan pemimpin bangsa yang lebih mengedepankan budaya materialisme (budaya kontinental).
"Kita malu menampilkan adab maritim akibat aneksasi kebudayaan kontinental yang materialis dan me ngedepankan kekuatan fsik," katanya.
Akibatnya, peradaban modern Nusantara seperti kehilangan arah karena mengingkari jati dirinya. Ia mengutarakan sejarah bangsa saat ini seperti dibentuk karena keberadaan orang lain. Bukan pada akar budaya bangsa sendiri yang sebenar- nya lebih hebat dan tidak ekspansif.
Ironisnya lagi, lanjutnya, peradaban maritim yang salah satunya berunsur nilai gotong-royong dan spiritualisme justru saat ini dikaji dengan sungguh-sungguh oleh sejarawan Barat yang diam-diam menemukan kelebihannya.
Sejauh mana desain orang asing terhadap keberadaan sejarah Nusantara? Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap identitas nasionalisme kebangsaan sekarang? Di tengah karut-marutnya kondisi bangsa saat ini yang seperti kehilangan identitas tentu pertanyaan itu harus segera dijawab. Fakta-fakta itulah yang ingin diapungkan oleh Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) yang menggelar diskusi tersebut.
Ketua Dewan Pembina YSNB Pontjo Sutowo mengatakan beragam temuan pemikiran terbaru itu perlu mendapat ruang untuk dapat menumbuhkan kembali gagasan penting karakter bangsa.
Bagi Radhar, semua buku sejarah resmi yang saat ini berlaku, sudah selayaknya dimasukkan dalam peti dan dikunci untuk selamanya. Karena memang ia tidak berhasil menggambarkan realitas historis dari riwayat bangsa, serta adab dan kebudayaannya, yang sesungguhnya pernah ada. Jaleswari juga menambahkan tesis Prof Santos, meski kontroversial bisa menjadi penyemangat dan pintu masuk bangsa Indonesia untuk menumbuhkan kembali keindonesiaan di tengah terpuruknya bangsa ini.(MI)
Bagi yang kontra tesis dalam buku Santos yang berjudul "Atlantis - The Lost Continent Finally Found (The Denitive Localization of Plato Civilization), menjungkirbalikkan paradigma sejarah dunia yang sudah mapan.
Bagaimana tidak, ia menyebutkan Indonesia sebagai pusat peradaban dunia pertama sebelum munculnya kebudayaan Romawi dan Yunani.
Hal itu bisa dilihat dari kebudayaan maritim yang dimiliki Nusantara.
Sejarawan Barat tidak akan rela jika Sundaland--wilayah dimaksud dalam buku Prof Santos--yang sekarang menjadi wilayah Indonesia sebagai awal pusat kebudayaan dunia, ujar Radhar Panca Dahana (budayawan), dalam sebuah diskusi di Jakarta, pekan lalu.
Hadir dalam panel diskusi tersebut di antaranya Agus Aris Munandar (arkeolog) Agung Bimo Sutejo (pene- liti situs) Oki Oktariandi (sejarawan), Jaleswari Pramodharwardani (pe- neliti dari LIPI) dan ES Ito (novelis) yang juga mencoba menelaah buku yang disusun berdasarkan riset selama 30 tahun tersebut.
Santos menyebutkan, peradaban di Indonesia pada masa itu sudah maju, meliputi ilmu pengetahuan dan penemuan besar manusia. Dicontohkan antara lain, budaya bercocok tanam, bahasa, metalurgi, astronomi, seni, dan lain-lain.
Hasil peradaban maju lainnya, seperti kapal laut, arsitektur di Yunani, Mesir, Maya, Azte, Inca dan lainnya, yang menurut Prof Santos tak lain dibangun oleh bangsa Indonesia yang melakukan migrasi lewat laut, setelah Sundaland hancur oleh bencana meletusnya Gunung Krakatau 11.600 tahun silam. Pada masa itu merupakan letusan Gunung Krakatau yang pertama.
Sebagai karya ilmiah tentu saja tesis itu mendapat sanggahan dari ilmuwan lainnya yang telanjur memercayai pusat kebudayaan manusia modern pertama berasal dari wilayah Yunani dan Romawi (Continental).
"Kita pun tersentak, sebab penelitian bertahun-tahun itu bermuara pada kesimpulan bahwa benua (Atlantis) yang hilang itu tenggelam di wilayah Nusantara, hingga menyisakan puncak-puncak yang membentuk pulau-pulau dalam sabuk gunung berapi," kata ES Ito.
Terlepas dari pro dan kontra, konstruksi sejarah Prof Santos di forum tersebut diharapkan bisa membuang inferioritas bangsa Indonesia yang sebenarnya memiliki warisan nilai sejarah yang tinggi.
Para ahli sejarah sepakat bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa maritim. Penilaian itu memang tidak terbantahkan bila melihat bukti-bukti sejarah yang ada.
Namun sayang, seperti dikemukakan Radhar Panca Dahana, jejak itu kini redup seiring dengan tumbuhnya sikap yang dipertontonkan pemimpin bangsa yang lebih mengedepankan budaya materialisme (budaya kontinental).
"Kita malu menampilkan adab maritim akibat aneksasi kebudayaan kontinental yang materialis dan me ngedepankan kekuatan fsik," katanya.
Akibatnya, peradaban modern Nusantara seperti kehilangan arah karena mengingkari jati dirinya. Ia mengutarakan sejarah bangsa saat ini seperti dibentuk karena keberadaan orang lain. Bukan pada akar budaya bangsa sendiri yang sebenar- nya lebih hebat dan tidak ekspansif.
Ironisnya lagi, lanjutnya, peradaban maritim yang salah satunya berunsur nilai gotong-royong dan spiritualisme justru saat ini dikaji dengan sungguh-sungguh oleh sejarawan Barat yang diam-diam menemukan kelebihannya.
Sejauh mana desain orang asing terhadap keberadaan sejarah Nusantara? Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap identitas nasionalisme kebangsaan sekarang? Di tengah karut-marutnya kondisi bangsa saat ini yang seperti kehilangan identitas tentu pertanyaan itu harus segera dijawab. Fakta-fakta itulah yang ingin diapungkan oleh Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) yang menggelar diskusi tersebut.
Ketua Dewan Pembina YSNB Pontjo Sutowo mengatakan beragam temuan pemikiran terbaru itu perlu mendapat ruang untuk dapat menumbuhkan kembali gagasan penting karakter bangsa.
Bagi Radhar, semua buku sejarah resmi yang saat ini berlaku, sudah selayaknya dimasukkan dalam peti dan dikunci untuk selamanya. Karena memang ia tidak berhasil menggambarkan realitas historis dari riwayat bangsa, serta adab dan kebudayaannya, yang sesungguhnya pernah ada. Jaleswari juga menambahkan tesis Prof Santos, meski kontroversial bisa menjadi penyemangat dan pintu masuk bangsa Indonesia untuk menumbuhkan kembali keindonesiaan di tengah terpuruknya bangsa ini.(MI)
0 komentar:
Posting Komentar